Sejarah Budaya Thrifting, From Saving to Flexing

Awalnya tren thrifting untuk selamatkan bumi dari pakaian bekas digunakan lagi.

194
Budaya Thrifting

Dalam beberapa tahun terakhir, mencari baju bekas dikenal dengan istilah thrifting yang lagi ngetren banget di kalangan anak muda. Berburu pakaian bekas pun juga nggak susah, karena mereka tersedia di mana-mana, mulai dari toko fisik sampai toko online.

Tapi, kalian tahu nggak sih apa sebenarnya thrifting itu? Apa benar thrifting cuma sekadar belanja baju bekas saja?

Apa itu thrifting?

Budaya Thrifting
Ilustrasi thrifting/unsplash

Thrifting berasal dari kata ‘thrift’ yang artinya hemat. Tapi, belakangan, istilah ini digunakan untuk kebiasaan berburu baju atau barang bekas, tentunya dengan harga murah. Jadi, thrift bisa diartikan juga sebagai cara hemat dengan membeli baju atau barang bekas.

Seniman daur ulang sekaligus pendiri Setali, Intan Anggita Pratiwi, bilang konsep thrifting memiliki pergeseran makna. Saat ini, thrifting dilihat hanya sebagai aktivitas berburu barang bekas saja. Padahal, thrifting sebenarnya punya misi tertentu, gengs.

Sejatinya, thrifting adalah sebuah gerakan mengumpulkan barang bekas lalu dijual. Hasil penjualan tersebut digunakan untuk amal, donasi, atau kegiatan sosial lainnya.

Baca juga soal Efek Buruk Thrifting Bagi Kesehatan

Anyway, bicara sejarah thrifting di dunia, kultur ini sebetulnya sudah dimulai sejak lebih dari satu abad lalu. Menurut Time, akhir abad ke-19, berbagai wilayah di Amerika Serikat tumbuh begitu pesat. Hal itu karena terjadinya revolusi industri yang memperkenalkan secara massal pakaian yang banyak menganggapnya sebagai sekali pakai.

Budaya Thrifting
Ilustrasi budaya thrifting/unsplash

Kejadian itu juga mengakibatkan banyaknya barang yang dibuang. Nah, periode inilah gerakan barang-barang secondhand mulai bermunculan sebagai upaya menemukan kegunaan baru dari sebuah barang.

Organisasi Salvation Army dan Goodwill ketika itu punya peran yang besar dalam mengembangkan konsep thrifting. Mereka mengumpulkan baju-baju bekas untuk dijual ke para imigran dengan harga yang tentunya jauh lebih murah.

Budaya Thrifting
Thrifting store milik The Salvation Army/huddle.today

Tapi, saat itu stigma negatif masih melekat terhadap pakaian bekas. Sebab, mereka dianggap sebagai tanda ekonomi yang terhimpit. Ketika itu pengguna pakaian bekas mostly memang merupakan imigran yang datang mencari peruntungan ke Amerika Serikat.

Tren ini pun justru semakin naik dan berkembang ketika era grunge mulai banyak disukai. Kala itu Kurt Cobain menjadi panutan remaja dengan style-nya yang urakan dengan kaus bolong, kemeja flannel, dan celana jeans yang sobek. Semua item itu bisa didapatkan di mana lagi kalau bukan di thrift store?

Di Inggris, tren pakaian bekas ini muncul di era 1980-1990an. Nah, kalau di Indonesia sendiri, budaya belanja baju second ini sudah ada sejak lama, di tahun 1980an.

Budaya thrift di kalangan menengah atas biasanya cuma sekadar membeli barang atau baju yang punya nilai tertentu saja. Semisal baju yang pernah dipakai tokoh tertentu. Meskipun kondisinya bekas, nilai sejarah yang ada di balik barang itu justru membuatnya tetap diburu.

Berbeda dengan kalangan menengah bawah. Bagi mereka, thrifting sama dengan kebutuhan. Membeli baju bekas dengan harga murah sudah pasti jadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan ekonomi yang terhimpit.

Pergeseran budaya thrifting

Thrifting sekarang memang nggak sama dengan thrifting yang dulu. Yup, ada pergeseran budaya yang membuatnya sedikit berubah. Seperti halnya kekuatan media sosial yang menyulap budaya thrifting terlihat lebih keren.

Kalau kamu lihat di berbagai platform media sosial seperti Instagram dan TikTok, banyak pengguna sampai influencer yang membuat konten mix and match outfit bertajuk ‘Get Ready With Me’ atau GRWM dengan beberapa item fashion yang didapat dari hasil thrifting.

Jadi, pergeseran budaya thrifting ini seperti from saving to flexing, nggak sih? Dari yang tren awalnya untuk berhemat kini berubah jadi ajang pamer outfit dari hasil thrifting di medsos. Again, the power social media is the answer.

Bukan cuma itu, kampanye global warming atau pemanasan global juga membawa pengaruh besar terhadap fenomena thrifting di kalangan anak muda. Jadi, sekarang kalau belanja baju bekas itu keren, karena dianggap berkontribusi dalam memerangi pemanasan global dan membuat usia bumi lebih panjang dengan memanfaatkaan barang second.

Budaya Thrifting
Ilustrasi tren thrifting/shutterstock

Mindset seperti di atas mulai tertanam dalam benak banyak anak muda zaman sekarang. Belum lagi influencer dengan perannya yang juga bisa bikin thrifting makin digandrungi.

Well, dengan alasan melestarikan bumi, budaya thrifting yang awalnya dianggap sebagai cara berhemat, berubah jadi sesuatu yang keren. Bahkan, sekarang juga mulai muncul para influencer dengan konten-konten masa kini seperti bagaimana cara mix and match baju bekas yang dibeli di thrifting store atau pasar loak.

Fenomena thrifting kini memang semakin ramai, mulai dari kalangan muda sampai tua pun ikut meramaikan perburuan barang bekas. Sebenarnya, sah-sah saja membeli barang second, asal kalian tetap make sure apakah kondisi barang itu masih layak pakai atau nggak.

Karena kalau kamu cuek terhadap kondisi barang bekas, dampaknya bisa ke kesehatan, gengs. Jadi, mungkin kamu bisa lebih cermat lagi kalau ingin thrifting. Tapi, kalau kurang tertarik dengan budaya ini, kamu juga bisa banget beralih ke produk-produk lokal. Apalagi brandbrand lokal sekarang juga nggak kalah keren, lho! You decide, so be wise, gengs!

TIRA
WRITTEN BY

TIRA

Fashion and sport enthusiast!