Istilah deinfluencing trend ramai dibicarakan warganet di media sosial TikTok. Lewat tren itu, influencer justru mengajak orang banyak untuk tidak mudah terbawa tren dan membeli suatu produk atau menggunakan suatu jasa. Apa dasarnya?
Media sosial kini memiliki peranan penting untuk kehidupan manusia, begitu pula peran influencer yang kini semakin didengar suaranya oleh masyarakat.

Saat ini, sudah banyak influencer yang bisa kita temui di media sosial dan mampu untuk menciptakan suatu tren atau mengubah opini publik mengenai sesuatu, termasuk memberi pengaruh terhadap orang banyak untuk membeli suatu produk.
Nah, sebaliknya, deinfluencing trend adalah cara atau tindakan untuk meyakinkan orang atau publik untuk tidak membeli sesuatu. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya memerangi konsumerisme. Awalnya, istilah ini muncul di media sosial TikTok.
Tak disangka justru trend deinfluencing ini justru dipuji banyak orang, padahal di sisi lain banyak orang yang takut bahwa tren ini akan mendapatkan hujatan. Publik diajak untuk berpikir bahwa tidak semua tren harus diikuti, terlebih yang ada kaitannya dengan lifestyle atau gaya hidup.
Konsep deinfluencing pun bukan semata mengajak seseorang untuk tidak mengikuti tren baru. Justru di sini masyarakat diajak untuk berpikir tren mana yang akan mereka ikuti ataupun tidak.

Poin utama deinfluencing ini mengajarkan kepada masyarakat untuk membeli barang yang benar-benar dibutuhkan dan bukan barang yang diinginkan, namun publik tidak boleh merasa terdorong untuk mengonsumsinya secara berlebihan karena promosi dari influencer.
Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa kamu terapkan sebelum mengikuti tren dikutip dari narasi.tv:
Jangan mengikuti tren karena ingin mendapat pengakuan orang lain. Ikuti tren karena memang kamu menginginkannya.
Jangan menghabiskan uang untuk mengikuti tren yang tidak berdampak bagi kamu.
Menimbang untung dan ruginya mengikuti tren tersebut.
Baca juga: “Ramai Fenomena Childfree, Psikolog Sarankan Fokus Kelola Stres“









