Performing Rights: Makna, Batasan, dan Bagaimana Harus Bersikap

Karena pentingnya menghormati dan menghargai karya seni.

139
Performing Rights

Kata performing rights belakangan ini banyak dibicarakan karena perdebatan antara dua musisi Indonesia Ahmad Dhani dan Once Mekel.

Tak sampai di situ, Raja Dangdut Indonesia Rhoma Irama juga mendapatkan teguran dari kru band Deep Purple saat manggung di Solo pada pertengahan Maret lalu lagi-lagi terkait dengan permasalahan performing rights. Saat itu, diduga Bang Haji Rhoma Irama hendak membawakan intro lagu dari Deep Purple, Smoke on the Water yang diaransemen dangdut.

Untungnya, permasalahan ini tak berlangsung lama dan sudah diselesaikan oleh kedua belah pihak. Memang masih banyak orang yang tak mengetahui batasan dari aturan performing rights ini.

Foto ilustrasi konser/Unsplash

Apalagi, zaman digital sekarang ini semua orang bisa saja melakukan cover lagu tanpa memberikan credit atau bahkan tidak memberitahu sang pencipta lagu. Nampaknya, masyarakat Indonesia zaman digital ini harus paham betul tentang performing rights.

Bukan hanya soal uang, tapi pembahasan ini akan berujung kepada bagaimana seharusnya kita menghargai sang pencipta lagu dan bagaimana seharusnya dia mendapatkan haknya. Sebuah karya diciptakan pasti melalui proses yang tak mudah, ada proses kreativitas, ide, waktu, tenaga dan juga trial and error.

Foto ilustrasi konser/Unsplash

Proses ini sudah selayaknya mendapatkan penghargaan berupa performing rights dari pihak yang seharusnya berkewajiban memberikan itu. Tapi, sebelum jauh ke sana, mari kita kenali dengan baik dulu apa itu performing rights.

Pengertian Performing Rights

Foto ilustrasi konser/Unsplash

Performing Rights secara sederhana bisa diartikan sebagai hak untuk penggunaan musik yang diperdengarkan di tempat umum, misalnya di kafe, sarana transportasi, radio, konser, aplikasi musik digital, dan lain sebagainya.

Contohnya seperti ini, ketika kamu membeli CD original dan itu kamu dengarkan sendiri, itu hak kamu. Tapi, kalau kamu punya restoran dan kamu memutar CD itu di restoran kamu yang didengar oleh orang umum, hak kamu akan hilang karena itu sudah sebuah proses penggandaan hak cipta untuk diperdengarkan kepada orang lain.

Foto ilustrasi konser/Unsplash

Nah, dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa suatu lagu yang diperdengarkan untuk kebutuhan komersil, lagu itu harus memiliki performing rights dan harus membayar royalti kepada penciptanya.

Hak yang dimiliki pencipta lagu terhadap karyanya akan berlangsung sepanjang hidupnya ditambah 70 tahun setelah sang penulis itu meninggal dunia. Selama itu, lagu yang digunakan untuk kebutuhan komersil harus membayar hak cipta kepada penulisnya.

Contoh Kasus Performing Rights

Ilustrasi konser yang ada di Indonesia/Unsplash

Baru-baru ini, perdebatan yang timbul antara Ahmad Dhani dan Once Mekel adalah salah satu contoh kasus performing rights yang berujung kepada hubungan pribadi di antara keduanya.

Pada akhir Februari lalu, banyak kabar yang mengatakan bahwa Once Mekel menolak untuk membayar royalti lagu Dewa 19. Namun, saling lempar pendapat akhirnya terjadi di antara kedua musisi senior ini.

Tanpa perlu lebih dalam membahas hal tersebut, itu adalah salah satu contoh bagaimana masalah performing rights ini cukup krusial sebenarnya. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran semua pihak untuk lebih memperhatikan hal ini.

Pelajaran paling penting dari kasus Ahmad Dhani dan Once ini adalah bagaimana sebenarnya izin itu sangat diperlukan ketika kita ingin membawakan lagu atau karya orang lain.

Setidaknya, membuat surat perjanjian di antara kedua belah pihak menjadi cara paling bijak untuk bisa menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti perseteruan yang terjadi diantara kedua musisi hebat itu.

Batasan dalam Aturan Performing Rights

Konser Chrisye by Erwin Gutawa

Pada dasarnya performing rights ini sangat erat kaitannya dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Karena ini menyangkut sebuah karya dari buah pikir manusia yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, seni dan/atau sastra yang memiliki wujud.

Dalam sebuah hak cipta masih banyak hak eksklusif lainnya yang diberikan kepada pelaku pertunjukan untuk mendapatkan perlindungan, seperti:

–          Hak moral pelaku pertunjukan

–          Hak ekonomi pelaku pertunjukan

–          Hak ekonomi produsen fonogram, dan:

–          Hak ekonomi lembaga penyiaran termasuk hak cipta sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 Ayat 5 UU Hak Cipta.

Adapula perbedaan mendasar antara performing rights dengan pemegang hak cipta terletak pada perlindungan hukumnya. Pemegang hak cipta memiliki hak atas ciptaan yang perlindungannya berada di tangan pemegang hak.

Sedang performing rights dipegang oleh pelaku pertunjukan, produsen fonogram, dan lembaga penyiaran yang menyiarkan siaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU Hak Cipta.

Sebagai contoh, sebuah konser yang disiarkan oleh salah satu stasiun TV merupakan aplikasi dari performing rights, di mana hak penyiarannya sepenuhnya dimiliki oleh stasiun TV itu sedang rekaman suara dimiliki oleh artis atau pemegang hak cipta atas karya tersebut.

Untuk itu, kesimpulannya adalah dalam suatu pertunjukan konser musik seorang artis memiliki hak atas lagu yang dinyanyikannya dan itu merupakan copyright. Sedang, hak atas penampilan di konser tersebut yang ditampilkan dalam bentuk visual adalah performing rights.

Apabila artis itu bukan pencipta lagu, maka artis tersebut hanya memiliki hak performing rights atas lagu yang dinyanyikannya. Dan ini berarti ia harus membayarkan royalti kepada sang pencipta lagu.

Foto ilustrasi konser/Unsplash

Lalu, bagaimana dengan lagu cover yang ada di YouTube? Sesungguhnya, lagu cover ini memiliki hak ekonomi di dalamya. Kendati masyarakat lebih familiar dengan youtuber yang mengcover, sebenarnya pemegang hak cipta harus tetap mendapat hak ekonomi atas karya ciptaannya meski dipopulerkan oleh penyanyi lain.

Berdasarkan Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta, setiap orang dapat menggunakan secara komersil suatu ciptaan dalam satu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta lewat Lembaga Management Kolektif (LMK).

LMKN atau Lembaga Management Kolektif Nasional ini adalah sebuah lembaga negara yang didirikan berdasarkan kepada UU Hak Cipta, di mana LMKN memiliki peran penting dalam menarik, mengumpulkan, dan mendistribusikan royalti atas hak cipta di Indonesia sesuai dengan tarif yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Foto ilustrasi konser/Unsplash

Pasal 1 angka 22 UU Hak Cipta juga menjelaskan bahwa LMK adalah sebuah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberikan kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna menghimpun dan mendistribusikan royalti.

Oleh karenanya, sangat penting bagi pencipta ataupun pelaku pertunjukan bergabung bersama LMKN untuk mendapatkan hak ekonomi atas karya yang diciptakan secara maksimal.

Pasal Krusial yang Ada di UU Hak Cipta

Ilustrasi Konser
Ilustrasi Konser: Unsplash

Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, ada beberapa pasal penting yang harus menjadi perhatian kita bersama. Apa saja itu? Berikut kami rangkum.

Pasal 1 ayat 4: Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak secara sah.

Pasal 1 ayat 5: Hak terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga Penyiaran.

Pasal 1 ayat 6: Pelaku pertunjukan adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menampilkan dan mempertunjukkan suatu ciptaan.

Pasal 1 ayat 20: Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu.

Pasal 1 ayat 21: Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.

Ilustrasi foto hukum/Unsplash

Pasal 1 ayat 24: Penggunaan Secara Komersial adalah pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.

Untuk lebih lengkapnya menyoal pasal demi pasal yang ada di UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, kamu bisa klik link ini.

Lalu, Apa yang Dilakukan Performer Kalau Mau Cover Lagu?

Joyland Festival Bali
Ilustrasi konser musik/unsplash

Kembali melihat kepada UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, di dalam pasal 1 ayat 20 dikatakan ada yang namanya โ€œLisensiโ€. Lisensi ini adalah izin tertulis yang diberikan oleh pencipta lagu kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk hak terkait dengan syarat tertentu.

Kalau dilihat lebih dalam, ada hak ekonomi dan hak moral pencipta yang harus dipenuhi sebelum performer membawakan lagu dari pencipta lagu tersebut. Hak ekonomi di sini terdiri dari lisensi dan royalti.

Berdasarkan dengan penjelasan ini, maka sangat perlu izin untuk menggunakan lagu dan musik yang merupakan karya orang atau pihak lain. Jika tidak, maka penggunaan tersebut melanggar hak cipta dan bisa dituntut secara hukum.

Dan menurut pasal 43 huruf D UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut, tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.

Tapi, kalau cover lagu itu dilakukan untuk tujuan komersial dan mendapatkan keuntungan, serta tanpa izin pencipta dan pihak terkait, atau pencipta merasa keberatan, maka perbuatan tersebut menjadi perbuatan yang melanggar hak cipta.

Lagu Aku Dibawain Tanpa Izin, Aku Harus Gimana Nih? 

Foto ilustrasi konser/Unsplash

Melansir dari website hukumonline.com, bagi pencipta sebuah karya jika karyanya dibawakan oleh orang lain tanpa seizin dirinya untuk kebutuhan komersial, sebenarnya bisa menempuh jalur hukum untuk menyelesaikannya.

Pasal 113 ayat 2 UU Hak Cipta Nomor 28 tahun 2014 mengatakan, bahwa setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomoi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Dari penjelasan ini, semoga kita makin sadar bahwa hak cipta itu harus dihormati dan dihargai. Dengan begitu, kita juga akan mendukung yang namanya karya seni.

Semoga makin paham ya gaess.

Rio
WRITTEN BY

Rio

Menulis seakan sudah menjadi kebiasaan untuk saya sejak kuliah. Skill ini terus berkembang sampai saat ini. Dimulai dari Liputan6.com sampai sekarang pekerjaan yang saya geluti seputar menulis artikel. Dan saat ini, Oppal Media adalah tempat saya untuk kembali belajar dan membuktikan yang terbaik.