Terbitlah Terang: Suara Kartini yang Menyala Lewat Sastra dan Suara

Pementasan ini menjadi bentuk penghormatan atas semangat, pemikiran, dan perjuangan Raden Ajeng Kartini

41

Dalam rangka memperingati Hari Kartini, Titimangsa bersama Bakti Budaya Djarum Foundation menghadirkan pertunjukan sastra dan suara bertajuk Terbitlah Terang: Pembacaan Surat dan Gagasan Kartini. Digelar hari ini di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, pementasan ini menjadi bentuk penghormatan atas semangat, pemikiran, dan perjuangan Raden Ajeng Kartini—sosok perempuan visioner yang nyalanya terus hidup dalam perjalanan bangsa.

Terbitlah Terang bukan sekadar mengenang Kartini sebagai pahlawan emansipasi, tetapi juga menyoroti keberaniannya berpikir dan menulis. Surat-surat Kartini membuktikan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari keberanian untuk merasakan, merenung, dan menyuarakan kebenaran. Lewat pementasan ini, kami ingin mengajak generasi muda untuk merefleksikan makna perjuangan dan meneruskan semangat Kartini dengan pendidikan, empati, dan keberanian,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Pementasan ini menghidupkan surat-surat asli Kartini dalam format monolog, dibawakan oleh para seniman lintas generasi: Christine Hakim, Ratna Riantiarno, Reza Rahadian, Marsha Timothy, Maudy Ayunda, Lutesha, Cinta Laura, Chelsea Islan, Happy Salma, dan Bagus Ade Putra. Di bawah arahan sutradara Sri Qadariatin, para seniman tidak hanya membacakan, tetapi juga menyelami dan menyuarakan isi hati Kartini—gagasan yang ditulis lebih dari seabad lalu, namun tetap terasa relevan hingga hari ini.

“Hari ini kita tidak sekadar mengenang Kartini sebagai tokoh sejarah, tapi merayakannya sebagai sosok manusia yang jujur pada pikirannya dan setia pada perasaannya. Membaca surat-suratnya adalah menelusuri ruang batin seorang perempuan yang berani bermimpi dan melampaui zamannya. Merayakan Kartini adalah merayakan keberanian untuk mengenal diri dan menyuarakan nurani,” ungkap Happy Salma, Pendiri Titimangsa.

Surat-surat yang dibacakan diambil dari dua buku penting: Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer (Lentera Dipantara, 2006) dan Kartini: Kumpulan Surat-surat 1899–1904 karya Wardinam Djoyonegoro (Pustaka Obor, 2024). Surat pertama Kartini kepada Stella Zeehandelaar—aktivis feminis asal Belanda—menjadi awal dari rangkaian korespondensi yang mencerminkan pemikiran awal perempuan Indonesia tentang pendidikan, emansipasi, dan keadilan sosial. Melalui surat-surat ini, Kartini tidak hanya menampilkan kecerdasan dan kepekaan sosialnya, tetapi juga keberanian untuk menentang ketimpangan sosial dan menyuarakan suara perempuan.

Kegelisahan dan harapan Kartini juga tergambar dalam surat-suratnya kepada Tuan dan Nyonya Abendanon—pendukung besar perjuangannya—di mana ia mencurahkan kerinduannya akan kebebasan, semangat untuk belajar, dan keyakinan akan masa depan perempuan di tanah air.

Kalimat “Panggil aku Kartini” menjadi nyawa dari pementasan ini—mengajak penonton menyelami isi surat yang sarat keberanian, cinta, amarah, dan harapan. Pementasan dibuka dengan prolog oleh Ratna Riantiarno, disusul pembacaan surat-surat Kartini oleh Christine Hakim dan Marsha Timothy yang mengangkat pentingnya pendidikan. Chelsea Islan, Cinta Laura, Lutesha, dan Bagus Ade Putra menyuarakan pemikiran Kartini tentang norma sosial dan harga diri perempuan. Reza Rahadian dan Maudy Ayunda menyampaikan kritik Kartini terhadap kebijakan kolonial dan isu lingkungan. Pementasan ditutup oleh epilog reflektif dari Happy Salma.

Menurut sutradara Sri Qadariatin, “Pementasan ini bukan hanya penghormatan atas sosok Kartini, tetapi ruang reflektif bagi kita semua. Surat-suratnya menampilkan dimensi personal yang begitu kuat, menjadikannya bukan sekadar tokoh sejarah, tapi suara yang terus hidup dan menjawab tantangan zaman.”

Pementasan Terbitlah Terang juga menjadi bagian pembukaan pameran SUNTING: Jejak Perempuan Indonesia Penggerak Perubahan, yang berlangsung mulai 22 April hingga 31 Juli 2025 di Museum Nasional Indonesia. Pameran ini mengangkat kontribusi perempuan dalam sejarah Indonesia, dari penerbitan Sunting Melayu oleh Rohana Kudus hingga perjuangan Kartini, sebagai simbol kekuatan, martabat, dan perubahan sosial. Melalui pameran ini, publik diajak untuk merenungkan peran perempuan dalam membangun peradaban dan turut serta dalam perjuangan menuju masa depan yang lebih setara.

Related Post