“Aku, Wastra dan Kisah”: Perayaan Budaya dan Apresiasi Daya Perempuan dari Matahari dari TIMUR

Gerakan kebudayaan Matahari dari TIMUR (MDT) sukses menyelenggarakan pagelaran seni tahunan mereka yang ke-3.

2

Gerakan kebudayaan Matahari dari TIMUR (MDT) sukses menyelenggarakan pagelaran seni tahunan mereka yang ke-3. Mengusung tajuk “Aku, Wastra dan Kisah”, perayaan ini menjadi momentum penting yang memadukan warisan wastra Nusantara, narasi pemberdayaan perempuan, dan harapan generasi bangsa dalam satu ruang apresiasi seni.

Diselenggarakan di Sunset Pier, Riverwalk Island PIK Gate 3, pagelaran ini menghadirkan perpaduan seni pertunjukan, karya mode, musik, film dokumenter, serta suara-suara inspiratif dari perempuan dan anak-anak Indonesia. Acara ini juga menegaskan komitmen MDT untuk memperluas dampak gerakan pelestarian budaya dan pemberdayaan, yang diinisiasi oleh Laura Muljadi, berlandaskan keyakinan bahwa satu langkah individu dapat memberikan kontribusi signifikan bagi keberlangsungan Negeri.

Matahari dari TIMUR: Gerakan Kebersamaan yang Tumbuh dari Hati

Dibentuk pada 17 Agustus 2022, MDT hadir sebagai gerakan kolektif yang berakar pada upaya melestarikan budaya dan wastra Nusantara, memberdayakan perempuan dan anak, serta membangun ekosistem kreatif inklusif yang relevan dengan perkembangan zaman. Bersama dua penasihat awal, Rinaldy Yunardi dan Aoura Chandra, MDT telah berkembang menjadi ruang kolaborasi lintas generasi, profesi, daerah, dan negara.

MDT memegang teguh visi untuk melestarikan wastra bukan sekadar sebagai artefak, melainkan sebagai bahasa kehidupan, identitas yang dikenakan, dicintai, dan diwariskan. Gerakan ini percaya bahwa budaya harus tumbuh dan berevolusi seiring dengan perkembangan zaman. Semangat ini dihidupkan oleh komunitas Generasi Berbudaya (Gen B), sebuah kolektif bagi individu yang peduli terhadap bumi dan budaya, serta berdaya secara berkelanjutan.

“Dongeng dari Kain”: 2000 Anak 2000 Karya

Dalam tahun ketiganya, MDT meluncurkan aktivasi besar bertajuk “Dongeng dari Kain: Aku, Wastra dan Kisah – 2000 Anak 2000 Karya”. Program inklusi budaya ini dirancang untuk memperkenalkan filosofi kain, mengangkat kisah mama-mama penenun, membangun empati lintas daerah, memberikan akses kreativitas, dan menjaga relevansi wastra di ruang publik.

Program ini melibatkan ribuan anak-anak di Indonesia dan luar negeri dari beragam latar belakang, termasuk penyandang disabilitas, anak prasejahtera, anak diaspora, dan anak urban. Seluruh karya ini nantinya akan dihimpun menjadi Buku Jejak Harapan “Aku, Wastra dan Kisah”, yang menjadi warisan visual-naratif bagi generasi mendatang.

Rangkaian Pagelaran Penuh Makna

Pagelaran dibuka dengan pemutaran film dokumenter berjudul “Perjalanan: Kain dan Kehidupan”, yang menampilkan denyut hidup mama-mama penenun di Sumba. Dokumenter ini mengajak penonton memahami wastra sebagai penanda identitas, simbol harapan, dan bahasa cinta.

Selanjutnya, perjalanan budaya mengalir ke kolaborasi musik yang diciptakan oleh seniman muda seperti JFlow, Adit Marciano, Moe, Adinda Cresheilla, Dhea Fandari, dan Laura Muljadi. Pembukaan resmi pagelaran dilakukan oleh Isabella Adinda Russo, putri Laura Muljadi, yang membawakan kain hasil cetak karya anak-anak.

Diadakan pada Bulan Pahlawan, pagelaran ini dipandu oleh Agustin Ramli dan Adinda Cresheilla. Acara ini melibatkan perempuan lintas generasi dari berbagai bidang, terinspirasi oleh semangat perempuan Indonesia Timur. Narasi pagelaran disampaikan dalam dua bentuk lisan dan bahasa isyarat, menegaskan bahwa seni dan budaya adalah milik semua kalangan.

Ekspresi Wastra dalam Empat Sekuens Mode

Pagelaran mode ini dibagi menjadi empat sekuens utama, menampilkan kekayaan wastra melalui lensa mode kontemporer:

  1. SEQUENCE 1 – “AKU” oleh GHEA RESORT Sekuens ini merupakan persembahan untuk Perempuan, Keibuan, dan Ibu Pertiwi. Ghea Resort by Amanda Janna mengangkat Sumba sebagai kanvas budaya, sekaligus sebagai tribut bagi 45 tahun berkarya Ghea Panggabean. Koleksi Sumba menampilkan motif ikat dan simbol sakral Mamuli (perhiasan emas berbentuk rahim perempuan) yang dimaknai sebagai simbol pemberdayaan, hadir dalam siluet modern. Koleksi ini dibawakan oleh figur publik seperti Maudy Koesnadi, Nadine Chandrawinata, dan Kimmy Jayanti.
  2. SEQUENCE 2 – “KISAH” oleh BY ARRA (Tenun Sabu Raiju) Koleksi “KISAH” karya Mita Hutagalung (by Arra) merayakan ketangguhan perempuan penenun. Koleksi ini memadukan desain kontemporer dengan Tenun Sabu yang merupakan identitas penting masyarakat Pulau Sabu. Motif wastra seperti Èi (sarung perempuan) dan Hi’je (kain ritual) dihidupkan kembali sebagai pengingat akan identitas budaya Sabu yang terancam punah. Koleksi ini dibawakan oleh Renata Koesmanto, Nadia Mulya, dan Artika Sari Devi, yang membawa pesan tentang saling menguatkan.
  3. SEQUENCE 3 – “KASIH” oleh AMAPOLA Amapola karya Paula Verhoeven mempersembahkan Desert Series yang merepresentasikan cinta yang merawat dan menyatukan. Koleksi ini memadukan nuansa bumi gurun dengan jiwa kain tradisional Indonesia, menciptakan dialog visual antara keheningan alam dan resonansi budaya. Peragaan ini menampilkan gerak teatrikal dua generasi ibu dan anak, melambangkan kasih perempuan kepada anak, negeri, dan sesama.
  4. SEQUENCE 4 – “WASTRA” oleh PENDOPO Pendopo, di bawah naungan Kawan Lama Group, menampilkan harmoni dari Tenun Umalulu (Hanggi & Lau Pahudu/Pahikung) dan Tenun Buna dari Timor. Tenun Umalulu membawa makna spiritual dari kepercayaan Marapu, dengan motif kuda (Njara) yang melambangkan kemuliaan dan gurita (Wita) yang mencerminkan kebijaksanaan. Sementara Tenun Buna memancarkan kekayaan alam Timor. Koleksi ini secara khusus dibawakan oleh seniman muda disabilitas berbakat, Ajeng Svastiari, model kembar, serta model lintas generasi, menegaskan pesan bahwa keberagaman adalah kekuatan, dan dalam kebersamaan, semua tetap satu.

Apresiasi dan Pesan Penutup

MDT menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para penopang karya dan mitra kolaborasi, termasuk Sunset Pier, WARDAH, Bintang Sempurna, OPTIK SEIS, dan para mitra media, yang telah menjadi jembatan suara dalam langkah pelestarian budaya ini.

Laura Muljadi, inisiator dan creative director Matahari dari TIMUR, menutup acara dengan seruan: “Wastra hanya akan terus hidup jika kita kenal, kita pakai, kita cintai, kita jaga, kita hidupkan dan kita wariskan. Ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai saudara sebangsa. Mari mengenal, mencinta, dan melangkah bersama untuk Indonesia karena Kita, Generasi Berbudaya. Kita Indonesia.

Related Post