Lagu dari Kamar, Cinta dari Yogyakarta

Di atas panggung, saya tidak hanya melihat penonton. Saya melihat cermin-cermin kecil dari perjalanan batin masing-masing orang.

40

Yogyakarta, kota ini selalu punya cara sendiri untuk menyentuh hati. Tapi malam itu, di Grand Pacific Hall, rasanya ada sesuatu yang berbeda—lebih dalam, lebih hangat, dan jujur saja… bikin saya nggak ingin cepat-cepat pulang.

Sejak mobil berhenti di lokasi Tur SAMA SAMA, saya sudah melihat antrean panjang teman-teman yang datang. Mereka berdiri dengan sabar, senyum-senyum sendiri, saling bercerita, mungkin juga deg-degan menanti pertunjukan. Dari dalam ruangan, kami yang bersiap pun ikut terbawa semangat itu. Di kota ini, kami mencoba beberapa hal baru—sesuatu yang belum pernah dilakukan di kota lain. Rasanya seperti bereksperimen bersama, memercayakan diri kepada penonton yang sejak awal sudah memeluk kami dengan hangatnya.

Saat akhirnya naik ke atas panggung, saya langsung tahu, malam ini akan jadi malam yang tidak biasa. Lagu-lagu saya yang dulu lahir di kamar—di ruang-ruang kecil dan sunyi tempat saya menyusun kata demi kata, nada demi nada—ternyata punya perjalanan yang jauh lebih panjang dari yang pernah saya bayangkan.

Malam itu di Yogyakarta, saya menyadari sesuatu yang sederhana, tapi menggetarkan: lagu-lagu yang awalnya hanya hidup di ruang pribadi saya, ternyata juga hidup di ruang-ruang pribadi para pendengar. Mereka menyanyikannya dengan mata yang berkaca, suara yang mantap. Seolah lagu itu pernah menemani mereka di malam sepi, di perjalanan pulang, di titik-titik penting dalam hidup mereka.


Dan di atas panggung, saya tidak hanya melihat penonton. Saya melihat cermin-cermin kecil dari perjalanan batin masing-masing orang. Ada koneksi yang tidak bisa dijelaskan, yang tidak dibuat-buat. Hanya terasa—dan terasa dalam sekali.

Di tengah keramaian itu, saya menangkap momen-momen kecil yang bikin hati penuh: seorang ibu mengajak anaknya bernyanyi bersama, seorang bapak menggenggam tangan istrinya sambil ikut bersenandung. Ada cinta di mana-mana. Ada keluarga yang terbentuk malam itu, meskipun kami belum pernah saling kenal sebelumnya.

Di akhir pertunjukan, kami turun dari panggung. Menyapa teman-teman yang sudah menonton satu per satu. Ada yang bilang, “Terima kasih, ya, sudah datang ke Jogja.” Padahal, saya yang justru ingin bilang terima kasih lebih dulu—untuk malam yang rasanya begitu benar.

Yogyakarta bukan sekadar kota untuk kami singgahi di Tur SAMA SAMA. Malam itu, ia jadi rumah. Dan saya tahu, di kota-kota berikutnya, kami akan terus membawa hangatnya Yogyakarta ke mana pun kaki ini melangkah.

Dengan penuh cinta,
Sal Priadi.