One Little Talk That Changed Me

Pembicaraan dengan adik membuat Vidi mengubah persepsi soal kebahagiaan.

240
0
Vidi Star Editor

Siapa orang yang menginspirasi kamu saat ini?

Kalau kamu bertanya pada saya, ketika masih SD dulu, orang yang menginspirasi saya adalah orangtua saya, terutama ayah saya.

Saat kecil dulu, ayah saya bekerja keras mencari uang untuk keluarga. Saya bukan lahir dari keluarga yang ekonominya baik, meski begitu, saat masih kecil saya merasa keluarga kami berkecukupan. Kami punya atap untuk berteduh, makanan di atas meja, hal-hal itu membuat saya merasa cukup.

Meski begitu, bagi ayah saya, kebahagiaan adalah kekayaan sebanyak-banyaknya. Beliau lahir dalam keadaan ekonomi yang sulit, dan melihat bahwa dia mengejar kesuksesan dan kekayaan buat menghidupi keluarganya, I think it all makes sense.

Persepsi ayah saya itu lama kelamaan tertanam di pikiran saya, membuat saya tumbuh dengan persepsi bahwa satu-satunya cara menjadi bahagia adalah dengan punya banyak uang.

Tumbuh dengan anggapan seperti itu membuat saya agak bias ketika masuk dunia kerja. Saya masuk ke industri musik dari umur 18 tahun dan terus bertahan sampai sekarang (wow, enggak terasa ya, tahun ini saya sudah 15 tahun berada di dunia musik), dan selama ini saya bertemu dengan banyak orang dan punya banyak kesempatan untuk networking.

Saat itu, saya punya goals, bahwa ketika berteman, setiap langkah saya harus ada “uangnya”. Saya berteman dengan orang-orang yang bisa memberikan saya opportunity, dan jadinya kurang sincere dalam membangun networking.

Lama kelamaan, saya juga punya anggapan baru, bahwa inspirasi sukses tidak bisa datang dari satu orang saja. Melihat sahabat A di sebelah kanan saya sukses, saya jadi terinpirasi untuk bisa seperti dia. Sahabat B di sisi lain pintar di satu bidang, saya pengin seperti itu juga. Saya pun jadi mendekatkan diri dengan banyak orang, yang punya drive di bidangnya masing-masing, sampai-sampai kanan kiri depan belakang saya seluruhnya bisa menginspirasi saya.

Artikel Vidi soal hubungannya dengan diri sendiri

Tapi anehnya, dengan seluruh inspirasi sukses tersebut dan juga uang yang saya dapatkan dari menjadi musisi, saya toh tetap merasa belum puas. Yang ada di pikiran saya saat itu, “Belum cukup, ini masih belum cukup, saya harus bisa dapat lebih banyak lagi.” Padahal, saya berkecukupan, tapi seperti ada yang missing dari diri saya.

Sampai akhirnya satu percakapan kecil dengan adik pertama saya, Diva, mengubah segalanya. There was this one moment that hit me hard.

Saat itu saya baru lulus kuliah S2, dan Diva pun tak lama lulus program master. Saat itu saya sudah masuk ke industri musik, dengan pendapatan yang lumayan. Di sisi lain, adik saya kembali ke Indonesia setelah mendapat gelar master, dia kemudian melakukan satu hal yang mengejutkan saya: Dia memutuskan untuk keluar dari rumah dan bekerja di sawah.

Ilustrasi persawahan di Salatiga
Ilustrasi persawahan di Salatiga/Shutterstock

Adik saya pun pindah ke Salatiga. Dia lalu jadi petani. Memang, alasannya jelas, adik saya suka dengan agrikultur. Tapi toh, menurut saya hal tersebut (saat itu) tidak masuk akal.

Waktu berlalu, dan adik saya masih menjadi petani. Suatu waktu saya bertemu kembali dengan adik saya. Hidupnya sangat bahagia, kulitnya sehat, wajahnya juga lebih cerah dibandingkan wajah saya, meski saya yakin uang saya lebih banyak darinya.

Saat itu saya yang masih percaya bahwa kesuksesan diukur dari berapa banyak uang yang didapatkan bertanya, “Kamu bahagia banget kelihatannya, berapa gaji kamu?”

Saya ingat sekali dia menjawab, “Oh, saya dapat Rp1,5 juta sebulan.”

Artikel Vidi soal perspektif bahagia

Saya kaget bukan main, karena bahkan saat itu UMR Jakarta jauh lebih tinggi dibanding itu. Dan yang lebih mengagetkan lagi, dia bahkan berkata bahwa ia menyumbangkan Rp1 juta dari gajinya untuk para petani yang tinggal di kiri dan kanannya. Ini berarti, adik saya hanya hidup dengan sepertiga dari gajinya.

Jawabannya otomatis membuat saya syok, “500 ribu sebulan, bagaimana kamu bisa hidup?”

Adik saya kemudian menjelaskan, untuk makan, dia memelihara beberapa ayam yang bisa memberikan telur. Sayur-sayuran pun ada banyak di kebun. “Saya enggak butuh apa-apa lagi, saya sudah cukup, punya uang lebih memangnya buat apa?”

Ilustrasi petani di sawah
Ilustrasi petani di sawah/Shutterstock

Saat itu saya menyadari, meski lebih muda, adik saya ternyata sudah jauh lebih dewasa dibanding saya. Dia sudah berada di tahap di mana dia bisa merasa berkecukupan meski uang yang ia dapatkan lebih kecil, tak seperti saya yang selalu pengin punya lebih.

Dari situlah saya tersadar, bahwa ternyata “berkecukupan” dan merasa damai dengan diri sendiri itu bukan ditentukan dari jumlah uang. Bahwa ternyata sukses itu adalah ketika kita bisa berdamai dengan keadaan, ketika kita merasa cukup, dan di tengah kecukupan itu kita bisa memberi pada orang banyak. Itu semua tergantung dari isi kepala kita dan bagaimana kita melihat hidup.

Pembicaraan kami simpel, tapi dari situ saya belajar, bahwa apa yang menurut saya kecil, ternyata bagi orang lain angka tersebut ternyata lebih dari cukup.

Saya pun mulai mengubah mindset saya, dalam apa pun yang saya lakukan. Saya lebih sincere dalam berteman – tak lagi punya agenda bahwa orang tersebut harus memberi saya peluang atau inspirasi untuk bisa jadi “lebih” – dan akhirnya opportunity datang lebih jujur pada saya.

Memang, hal ini tidak bisa berlaku bagi semua orang. But for some people, including me, happiness is not about money.

Dan ya, inspirasi tidak selamanya harus datang dari orang yang lebih sukses, lebih kaya, atau lebih tua dari kita.

Inspirasi bisa datang dari mana saja, and one simple little talk can change a life, forever.

Kalau kamu, apa inspirasimu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *