Setelah lebih dari dua dekade sejak 28 Days Later (2002) dan 28 Weeks Later (2007), akhirnya Danny Boyle dan Alex Garland comeback buat kasih lanjutan dari film ber-genre horor post-apocalyptic ini lewat 28 Years Later (2025).
Kisah di seri ketiga ini dibuka dengan tempat terpencil bernama Holy Island yang ada di Timur Laut Inggris. Di sana, sisa-sisa manusia mencoba bertahan hidup tapi dengan cara yang agak primatif di samping memburu zombie.
Mereka bertani, cari makan, bikin bir sendiri, dan hidup seperti zaman batu modern yang dibalut dengan romantisme nasionalisme kuno. Gong-nya lagi, adegan di film ini mayoritas direkam dengan Hp Iphone
Baca juga: Film Panggil Aku Ayah Siap Bikin Nangis & Tersenyum Bareng
Kreativitas Cerita, Visual, dan Teknologi yang Dipakai Patut Diacungi Jempol
Bisa dibilang, 28 Years Later merupakan kisah Coming-of-age berkedok film zombie, sang sutradara, Boyle berhasil mengemasnya dengan kreatif. Sementara sinematografi dari arahan Anthony Dod Mantle bikin aksi di segala sudut filmnya terkesan mahal.
Kerennya lagi, teknik “poor man’s bullet time” yang muncul saat protagonisnya melibas para zombie, yang mana Boyle memasang 20 buah Iphone 15 Pro Max di sebuah papan kayu.
Perbedaan Kisah 28 Days, 28 Weeks, dan 28 Years Later
Poin kisah pendahulunya “28 Days”, menggunakan standar baku film zombi pada umumnya, dimulai dari adanya virus dari sebuah hewan, kemudia menyerang satu orang hingga menyebar ke mana-mana. Premisnya simple, bahwa manusia tidak lebih baik dari zombi.
Baca juga: review film 28 Years Later Versi Minpal
Sedangkan “28 Weeks”, sarat dengan adegan aksi, lebih membahas arogannya manusia yang pada akhirnya tidak mampu mengontrol alam sendiri.
Berbeda dengan “28 Years”, premisnya lebih kompleks, bahwa ada sisipan kritik sosial tentang manusia bisa jadi lebih kejam daripada monster. Bisa dibilang, cerita di seri ketiga ini minus cerita zombie-nya, tapi plus dalam pelajaran kehidupannya.
Kurang Greget Daripada Pendahulunya
Meski punya konsep visual menarik dengan pakai kamera HP, sayangnya, cerita tentang virus yang mewabah ini menurut Minpal tidak sebanding dengan penantiannya.
Jika seri pertama “Days” merevolusi genre zombie di seluruh dunia, didukung dengan film kedua “Weeks” yang memperlihatkan konflik sosial yang sangat horor ketimbang perlawanan melawan zombie.
Maka di film ketiga, banyak hal yang harusnya bisa menjadi unggulan dari pendahulunya, namun beberapa keputusan karakter di sini tampak tidak logis alias kurang cerdas, terutama karakter Spike.
Selain itu, adegan di ending-nya terkesan gantung dan janggal. Positive thinking, mungkin sengaja biar jadi penganter sekuel selanjutnya.
Kalo menurut Oppal Gengs, ini lebih ke film zombie, horror, atau drama nih?