Suku Baduy yang berada di Provinsi Banten memang sangat menarik untuk dikulik. Mereka adalah suku yang menolak adanya modernisasi dan sangat menjaga warisan adat serta tanah nenek moyangnya. Padahal, letak geografis Suku Baduy ini tak begitu jauh dari pusat kota.
Keberadaan dan wilayah tempat tinggal Suku Baduy sendiri diresmikan sebagai wilayah Cagar Budaya Pegunungan Kendeng, begitu bunyi informasi di laman resmi Provinsi Banten.

Ketika kita berbicara tentang Suku Baduy, maka kita tak boleh melepaskan kaitannya dengan kearifan lokal yang terlihat dari rumah adat kayu, dengan dinding anyaman bambu, dan atap dedaunan.
Lalu, kalau kamu sedang bertanya bagaimana sejarah berdirinya Suku Baduy dan apa filosofi mereka beserta maknanya? Kamu akan segera menemukan jawabannya.
Sejarah Suku Baduy

Sebenarnya, ketika berbicara soal Suku Baduy, kita akan dihadapkan kepada hal-hal seputar dewa. Suku Baduy percaya bahwa mereka adalah keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa yang diutus ke Bumi. Kira-kira begitu dilihat dari berbagai sumber.
Asal usul dari Suku Baduy juga banyak dikaitkan dengan Nabi Adam sebagai nenek pertama mereka. Mereka meyakini bahwa Nabi Adam dan warga Baduy memiliki tugas bertapa atau mandita yang bertujuan untuk menjaga harmoni dunia.
Sejarah Suku Baduy pun sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Kerajaan Pajajaran. Pada abad ke-11 dan 12, Kerajaan Pajajaran menguasai daerah Banten, Bogor, Priangan, hingga Cirebon.
Pada saat itu, penguasa yang memerintah adalah Raja Prabu Bramaiya Maisatandraman atau biasa dikenal sebagai Prabu Siliwangi.
Lalu, pada abad ke-15, masuklah agama Islam yang kemudian dibawa saudagar-saudagar asal Gurajat dan Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo asal Cirebon. Kerajaan Pajajaran pun semakin merosot karena rakyatnya yang kemudian menganut agama Islam.
Akhirnya, raja, senopati, beserta para punggawa meninggalkan kerajaan dan masuk ke hutan belantara arah selatan, mengikuti hulu sungai. Mereka meninggalkan asalnya, seperti yang diucapkan dalam pantun upacara Suku Baduy.
Filosofi Warga Baduy dari Dulu Sampai Sekarang

Dalam hidup keseharian, warga Baduy menggenggam nilai yang selarasa dengan alam dan budi pekerti. Beberapa prinsip masyarakat Baduy yang sering disampaikan adalah โGunung teu meunang dilebur; Lebak teu meunang diruksak; Pendek teu meunang disambung; Lojong teu meunang dipotong (Gunung tidak boleh dihancurkan; Lebak tidak boleh dirusak; Pendek tidak boleh disambung; Panjang tidak boleh dipotong).
Ini juga menjadi filsafat hidup dalam menjaga alam dan kelestarian lingkungan di wilayah adat Suku Baduy. Selain itu, ini merupakan sikap menerima ketetapan dari Tuhan sang penguasa alam. Kedekatan dengan alam merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari warga Baduy.
Salah satu cerminannya adalah pakaian khas Baduy. Warna biru pada ikat kepala yang biasa dikenakan warga Baduy luar adalah pertama yang dihasilkan dari daun-daun kayu.
Baca juga: “Upacara Seba Baduy“
Masyarakat Baduy dalam masih memegang kuat konsep pikukuh (aturan adat yang isi terpentingnya mengenai keapaadaan) secara mutlak dalam kesehariannya, sehingga banyak pantangan yang masih sangat ketat diberlakukan, termasuk listrik.
Namun, masyarakat Baduy Luar relatif menerima budaya luar secara selektif. Masyarakat Baduy Luar memiliki kelompok yang menempati puluhan kampung di Kaduketuk, Cikaju, Gajeboh, Kadukolot, Cisagu, dan lain-lain.