Food is My Destination

Enggak banyak orang Indonesia yang bangga akan kulinernya, dan orang-orang di luar negeri enggak banyak tahu makanan Indonesia.

398
0
Ayusa Star Editor

Saya adalah seorang pencinta makanan. Setiap kali seseorang bertanya, “Apa hobi seorang Ayusa?” jawabannya sudah pasti: kulineran. Kesukaan ini bahkan sudah dimulai sejak saya masih kecil.

Mungkin karena saya tumbuh besar di keluarga yang jarang sekali masak di rumah, saya jadi suka sekali jajan. Growing up, saya punya kegemaran untuk mencoba berbagai makanan yang dijual oleh pedagang atau di rumah makan pinggir jalan. Kebiasaan ini pun terus saya bawa hingga sekarang.

Jajan kuliner lokal bikin saya bahagia. I feel like, it gives me some sort of excitement. Dan saya suka sekali mencoba kuliner yang berbeda-beda setiap harinya. Semisal, hari ini saya mencoba makanan dari toko A, besok saya akan berpikir, “Oh, karena hari ini saya melewati jalanan yang sama, hari ini giliran saya mencoba makanan dari pedagang B, deh.”

Saya bukan orang yang suka mencoba menu yang sama setiap harinya. Untungnya, tinggal di Jakarta there’s always something new to explore each day. Bahkan kalau tidak di Jakarta pun, semisal saya traveling ke luar kota atau ke luar negeri, food becomes my destination. Saya mencari dulu makanan apa yang ingin saya coba, baru kemudian menentukan negaranya. Mengeksplor makanan itu menyenangkan, lho!

Ayusa

Kecintaan saya terhadap makanan ini akhirnya berkembang. Saya juga jatuh cinta akan the process of cooking and sourcing the ingredients. Saya tertarik banget akan bagaimana tiap daerah punya keunikan cara masaknya masing-masing, dan bagaimana masing-masing resep punya bumbu-bumbu uniknya sendiri-sendiri, dan bagaimana local ingredients dibudidayakan dalam makanan tersebut.

Enggak cuma itu, saya juga penasaran dengan how people sell the food, how they cook it, how they package it, it’s something that truly fascinating for me.

Mungkin kamu bertanya-tanya, kenapa saya lebih suka eksplor makanan lokal. Well first, Indonesian foods taste amazing. Rasanya cocok banget sama lidah saya –makanan Indonesia kebanyakan pedas dan asin, berbumbu dan “nendang”. Kedua, dengan mengeksplor makanan lokal saya jadi paham bahwa food is part of our culture and identity.

Ini yang membikin saya jadi appreciate people in local culinary industry: bagaimana mereka menggunakan dan mempertahankan resep yang turun temurun. Bahkan ketika ada yang membuat Indonesian fusion food pun, menurutku it’s fascinating.

Yang ketiga, in my own honest opinion, makanan Indonesia agak underrated. Enggak banyak orang Indonesia yang bangga akan kulinernya, dan orang-orang di luar negeri enggak banyak tahu makanan Indonesia – kebanyakan mereka hanya tahu soal rendang dan mi instan, but that’s it.

Tentu rendang dan mi instan adalah pencapaian yang luar biasa, but a shame for all other food that we have, dan makanan-makanan tersebut enak banget.

That’s why I make it my mission, even when I joined Puteri Indonesia, saya pengin banget promote makanan Indonesia.

Ayusa

Bicara soal makanan Indonesia, saya merasa bahwa budaya makan di Indonesia pun harus kita pertahankan, seperti budaya makan di warteg pinggir jalan, atau budaya makan pakai tangan. It Is very important because they are part of our identity. Dan kalau bukan kita yang lestarikan, siapa lagi?

Di luar budaya makan, kita juga patut apresiasi local products, appreciate the people who are behind the products, and the ingredients that they use to make the food.

Ketiga hal tersebut sebenarnya bisa dengan mudah kita lakukan dengan membeli makanan lokal. Semisal saat beli nasi ulam, we are supporting all the components that are on the plate – kita mendukung local farmer dengan mengonsumsi mentimun dan sambal yang ada di piring, kita mendukung pemetik kelapa ketika memakan serundeng, kita mendukung para penjual beras dengan mengonsumsi nasinya dan sebagainya.

Kamu mungkin belum menyadarinya, tapi once you eat local food or buy local ingredients, kita membantu penjual dan farm di sekitar. Semisal, ketika saya hari ini beli Nasi Uduk Bu Yoyo, empal sapinya tentu enggak mungkin berasal dari Jepang, tapi dari peternak lokal.

Jadi, bisa dibilang enggak cuma supporting our food and culture, but also support the local economy.

Dan selain itu, kamu juga environmentally friendly. Pasalnya, isu lingkungan ini enggak cuma soal packaging, tapi juga hal-hal lainnya. Semisal, ketika bahan makanan itu ditransport dari petani lokal atau penjual lokal ke warung atau restoran, kita membantu menurunkan carbon foodprint, karena semakin dekat jarak dari ingredients ke warung, the more sustainable it is.

So when you buy local food or local ingredients, it means less transport or less fuel, and what you do empowering local economy.

Ayusa

The biggest problem is, makanan pinggir jalan dipandang kurang hygiene. Tentu, setiap orang bebas membuat opininya masing-masing mengenai makanan pinggir jalan. Dan enggak bisa dipungkiri kalau memang ada makanan pinggir jalan yang kurang hygiene atau mengandung bahan yang kurang baik bagi tubuh. Tapi enggak semua vendor makanan seperti itu, kok.

Kalau kamu kurang nyaman buying food from local restaurants, you can always make the Indonesian food yourself. Kamu bisa mencari bahan-bahan lokal yang sesuai dengan hygiene value kamu. Dengan begitu, kamu tetap bisa mempertahankan budaya makanan sekaligus membantu mendongkrak local economy.

Dan kalau soal kalori atau nutrisi, banyak kok makanan pinggir jalan atau makanan lokal yang juga punya nutrisi lengkap. Seperti Nasi Ulam Bu Yoyo yang sedang saya coba ini, banyak banget sources of good nutrition on my plate. Atau buat kamu yang lebih memilih makan sayur-sayuran misalnya, ada gado-gado, atau pecel, atau karedok yang juga full of nutrition, and more affordable!

Ini waktunya kita lebih mendukung makanan, bahan makanan, dan budaya makan lokal. Karena kalau bukan kita, siapa lagi?

With love,

Ayusa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Post