Ketika disebutkan nama Iqbaal Ramadhan, kira-kira apa yang pertama kali muncul di kepala kamu?
Apa pun jawabanmu, enggak ada yang benar dan enggak ada yang salah kok. Tapi, bergerak dari fakta bahwa kamu punya jawaban atas pertanyaan di atas lah yang membuat aku terkadang khawatir; apakah benar itu memang aku? Atau aku yang kamu tangkap dan tersimpan di kepalamu sehingga kamu bisa menjawab pertanyaanku? Lantas bagaimana kalau bukan? Hmm, kayaknya pertanyaan dariku dan jawabanmu itu berkutat di ranah ekspektasi, deh. Dan kalau ngomongin ekspektasi, ini adalah sebuah fenomena universal yang dirasakan idola seusiaku, bahkan orang berusia 24 tahun pada umumnya.
Bagaimana seorang “Iqbaal Ramadhan” mengemban tanggung jawab moral juga ekspektasi sosial terhadap bagaimana dia harus bersikap, juga berkarya. Kembali ke kekhawatiranku, enggak jarang aku merasa pengin menjadi diri sendiri. Masalahnya, seringkali diriku berbeda dengan apa yang terbayang di pikiranmu.

Solusinya, ku pikir adalah sebuah keputusan yang bijak untuk membuat nama panggung untuk memisahkan Iqbaal Ramadhan yang kamu tahu dari diriku, yang jujurnya memang begitu. Lalu terbitlah BAALE. Sebuah proyek musik olehku, Iqbaal Ramadhan dimana aku bisa jadi aku. Tanpa takut kamu tidak setuju.
BAALE adalah Iqbaal Ramadhan di dunia musik. Dilandasi oleh keinginanku untuk berkarya yang jujur, aku merasa musik adalah medium yang paling tepat untuk menyampaikan cerita dan energi yang sayang rasanya kalau hanya untuk disimpan sendiri. BAALE sendiri hadir sebagai output untukku agar aku bisa bersenang-senang dalam berkarya dan membuat musik. Tanpa takut tidak sesuai dengan selera pasar atau tren pop kultur yang mungkin sedang digandrungi masyarakat. Intinya, BAALE ini hadir agar aku bisa jujur jadi diriku sendiri; sebagai seorang musisi, seniman, dan yang paling penting sebagai manusia yang sedang beranjak dewasa.
Kalau di dunia akting aku bisa punya privilege untuk menjalani hidup yang mungkin enggak bisa kurasakan di dunia nyata, sebaliknya di dunia musik aku harus menjadi diriku yang paling jujur apa adanya. Agar karyanya bisa tersampaikan dengan baik. Dan ternyata jadi diri sendiri itu bisa jadi tantangan. Apalagi ketika aku sudah jujur dengan diriku, lalu berkarya, lalu karyaku itu dianggap tidak sesuai dengan selera mereka yang mendengarnya.

Selain banyak yang mendukung kemunculan BAALE, ada juga beberapa orang yang enggak setuju karena tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Apa pun responsnya, tetap aku ucapkan Alhamdulillah dan terima kasih karena sudah mendengar juga menonton karya BAALE. Aku hanya sedang jujur dalam berkarya, bernyanyi dan bercerita tentang apa artinya menjadi muda buatku dengan segala kekurangan dan kelebihan yang membuat aku jadi remaja seutuhnya.
Musik yang aku suguhkan di BAALE, terutama di album satu yang berisi 12 lagu ini adalah musik yang sudah lama ingin aku bagikan. Kalau kata Austin Kleon, “write the book you want to read”, maka aku menulis lagu yang ingin aku dengar. Hehe. Musik BAALE banyak terinspirasi dari musik era 90an – 2000an awal. Alasannya, karena ternyata gak sedikit musik yang bermunculan di hari ini, yang sempat ku anggap fresh dan groundbreaking, ternyata adalah musik yang justru mereferensikan musik dari era-era sebelumnya.

Dari situlah muncul rasa penasaran tentang musik di era lampau yang rasanya terus diremajakan dengan cara yang beragam, salah satunya ya sampling atau interpolasi dari lagu-lagu yang pernah ada. Maka, mulailah aku mengulik ‘akar’ dari musisi-musisi hebat yang aku nikmati hari ini. Aku coba pelajari referensi mereka, sehingga mereka bisa menjadi seperti sekarang, dengan harapan aku juga bisa menemukan jati diriku di dalam prosesnya!
Dengan adanya BAALE aku jadi merasakan fenomena sosial yang belum pernah kurasakan. Seperti fenomena di mana munculnya tendensi dan urgensi untuk selalu mengomentari sebuah karya. Terlebih ketika karya tersebut tidak sesuai dengan selera. Menurut hasil risetku, inilah tren yang tidak terjadi di era-era sebelumnya. Soal masalah suka atau tidak, itu perkara biasa. Masalah selera juga tidak pernah bisa didebat; tidak ada musik yang jelek, hanya selera kita yang berbeda.
Ketika ada sebuah karya yang enggak kamu suka, ya tinggal move on atau di-skip saja. Yang berubah di zaman sekarang adalah rasa benci dan marah yang bisa muncul lalu harus disampaikan secara liar di kanal media sosial. Tak jarang melebar juga ke seniman pembuat karyanya. Padahal, hakikat dari sebuah karya adalah untuk dinikmati mereka yang suka tanpa perlu dibenci, kalau ternyata tidak sesuai dengan preferensi masing-masing.

Pada akhirnya, semua kembali ke ekspektasi. Kalau ternyata apa yang BAALE akan suguhkan tidak sesuai dengan selera atau ekspektasimu tentang bagaimana Iqbaal Ramadhan harus berkarya, aku mohon maaf ya. Aku hanya ingin jadi aku, yang sejujur-jujurnya juga yang se-apa adanya. Aku hanya ingin bernyanyi, bermain musik, menulis lagu dan berkarya seumur hidupku, walau itu artinya kamu enggak suka sama apa yang aku miliki. Gak perlu membenci, hanya perlu terus mencari apa yang sebenarnya kamu suka di hati. Yang pasti, kalau suatu saat kamu mau mencoba lagi, aku akan tetap ada di sini, sebagai remaja, sebagai idola, sebagai musisi, sebagai aktor, sebagai BAALE.