Istilah-istilah seperti quite quitting, strawberry generation, dan banyak lainnya “menempel” kuat pada Gen Z. Kamu juga pasti menyadarinya, di berbagai pemberitaan internet dan media sosial, generasi muda zaman sekarang dianggap kurang loyal, tidak konsisten, sulit diajak bekerja keras, dan sebagainya. The question is: Are Gen Zs really like that?
Ada banyak alasan mengapa dunia karier Gen Z lebih rumit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dewasa ini, mencari pekerjaan profesional dan stabil tidaklah semudah dulu – ada banyak sekali jenis pekerjaan di luar sana, beberapa bahkan masih sangat baru, dan semuanya berhubungan dengan dunia digital. Pekerjaan ini tentu berbeda dengan yang kita kenal satu atau dua dekade lalu – Social Media Manager ain’t even much of a topic a decade ago!
Selain itu, Gen Z juga sering dihadapkan pada pilihan: “Lebih baik pekerjaan yang sesuai passion dengan gaji seadanya, atau pilih yang lebih menantang dengan gaji lebih besar?” yang membuat mereka kebingungan – dan tak sedikit yang keliru dalam membuat keputusan karena iming-iming “kantor yang nyaman” atau “gaji yang lebih menarik”.
Inilah mengapa, setelah membuat keputusan dan mencelupkan diri dalam dunia pekerjaan, tak sedikit yang kemudian “pindah kaki” hanya dalam hitungan beberapa bulan.
“Pada dasarnya Gen Z, cenderung pemilih. Apalagi sekarang ini informasi soal jenis pekerjaan yang baru dan perusahaan apa saja yang sedang mencari kerja banyak beredar di internet dan media sosial. Prioritas dalam bekerja juga berbeda – bukan hanya gaji tapi juga kenyamanan. Jadi ketika mereka merasa kurang nyaman, dengan banyaknya pilihan di luar sana, berpindah kerja sering menjadi pilihan,” ujar dr. Hesty Novitasari, seorang psikolog remaja dan juga head manager untuk Klinik Psikologi Ruang Tumbuh.
“Inilah mengapa Gen Z dianggap kurang loyal, padahal mereka hanya mencari tempat kerja yang sesuai dengan passion mereka dan membuat mereka merasa nyaman,” lanjutnya.
Untuk memahami perilaku Gen Z ini, perusahaan tentu harus beradaptasi dengan lebih menerima kondisi atau karateristik anak muda zaman sekarang. Karena bagaimana pun juga, zaman toh telah berubah menjadi lebih dinamis.
“Jadi jangan membawa kebiasaan zaman dulu yang cenderung interaksinya kaku dan setiap hari harus bekerja di kantor. Perusahaan harus menyesuaikan dengan kebutuhan Gen Z. Inilah sebabnya beberapa perusahaan yang digandrungi Gen Z biasanya memiliki suasana kerja yang lebih nyaman, dinamis dan lebih fun: Bekerja secara hybrid, suasananya tak cuma meja kursi dan laptop, tapi juga ada tempat main dan istirahat. Hal ini perlu dipertimbangkan karena itu jadi nilai plus buat Gen Z agar mau bertahan,” ujar dr. Hesty. Bagaimana pun, karyawan adalah aset, dan siapa sih yang mau asetnya diambil oleh perusahaan lain?
Di sisi lain, Gen Z juga perlu menyesuaikan diri dengan keinginan perusahaan. Gen Z harus terbiasa dengan pressure. “Istilah strawberry generation yang belakangan ini timbul disebabkan oleh kaum muda zaman sekarang tak terbiasa dengan pressure dan tak ingin ditekan. Padahal, dengan adanya sedikit tekanan, mereka punya kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Ini bisa menjadi introspeksi buat Gen Z,” saran dr. Hesty. Jadi, tak hanya belajar untuk lebih konsisten, Gen Z juga harus menempa diri supaya lebih tough. Dengan begini, kedua generasi bisa saling bekerja sama.
Tantangan Utama Gen Z: Kompetisi
Pandemi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir membikin situasi kerja jadi carut-marut. Bagi Gen Z, ini adalah dilema terbesar yang harus mereka alami. Banyak Gen Z yang menyelesaikan pendidikan mereka dalam kondisi tak punya pekerjaan – “ladang” kerja menjadi semakin sempit, sedangkan jumlah lulusan tetap terus bertambah.
Hal ini membuat Gen Z memiliki tantangan yang lebih berat dibandingkan generasi sebelumnya: kompetisi dalam berkarier.
“Dengan banyaknya lulusan baru dengan latar belakang pendidikan yang beragam, kompetisi tidak bisa dipungkiri. Yang jadi kekhawatiran, Gen Z cenderung melihat atau membandingkan diri dengan kandidat yang lain, bikin mereka jadi minder dan insecure. Mereka pun kesulitan untuk bisa menampilkan kualitas diri secara maksimal. Di sini tantangannya, bagaimana caranya mengasah kemampuan diri sehingga apa yang ditampilkan bisa berkualitas dan berkompetisi dengan cara yang sehat,” papar dr. Hesty.
Ada beberapa alasan mengapa Gen Z suka membandingkan diri, “Paparan informasi sekarang luas banget, apalagi Gen Z adalah digital generation, yang mana informasi bisa didapatkan secara instan. Akibatnya, ketika muncul informasi mengenai generasi muda yang sukses – yang muncul secara intens dan masif – mereka jadi berpikir, ‘Kok, aku enggak bisa kayak gitu ya? Aku bisa kayak gitu enggak, ya?’ Hal ini yang membuat mereka jadi minder,” jelas dr. Hesty.
Bagi kamu para Gen Z (atau apa pun generasimu, doesn’t matter ‘cause this issue is R-E-A-L), ada beberapa tips dari dr. Hesty untuk bisa berkompetisi secara sehat. “Pertama, gali kembali potensi diri. Apa saja kelebihanmu secara personal? Tak jadi masalah jika kelebihan tersebut mungkin mirip dengan beberapa orang, karena potensi tetaplah potensi,” terang dr. Hesty.
Berikutnya, “Pahami dulu apa goals-mu, baik jangka pendek atau jangka panjang. Jangan sampai kamu berkompetisi di ladang yang tak sesuai dengan goals-mu,” saran dr. Hesty. Semisal, dalam jangka pendek kamu ingin menyerap informasi dan pengalaman kerja sebanyak-banyaknya. Maka jangan membuang kesempatan yang muncul di depan mata, dan jangan berkompetisi di “ladang” yang dipenuhi oleh mereka yang sudah memiliki pengalaman mumpuni.
Namun jika tujuanmu adalah mencari pekerjaan dengan gaji yang lumayan, maka lihat kembali potensi dirimu, “Apakah kemampuan dan pengalaman saya sudah sesuai dengan kriteria pekerjaan tersebut?” Jika ya, saatnya mencapai tujuan tersebut dan bersiaplah untuk berkompetisi.
Kesehatan Mental dan Dunia Kerja
Berbeda dengan Generasi X dan Baby Boomers, Gen Z kini lebih banyak memperhatikan kesehatan mental – bahkan mengaitkannya dengan karier mereka. Kamu juga mungkin menyadarinya dengan adanya banyak unggahan mengenai kesehatan mental di internet dan media sosial.
“Dulu, isu mengenai kesehatan mental tidak banyak digaungkan – generasi sebelumnya mengerti soal stres di dunia kerja, namun karena generasinya adalah pekerja keras dan sumber informasi sangat terbatas maka mereka tak bisa seterbuka sekarang. Kini, berkat peran internet dan media sosial, campaign soal kesehatan mental jadi lebih masif. Nah, yang menyerap informasi tersebut sebagian besar adalah Gen Z, karena mayoritas pengguna media sosial saat ini Gen Z dan milenial. Inilah mengapa awareness dan pembicaraan mengenai kesehatan mental dirasa makin penting,” papar dr. Hesty.
Bisa dikatakan sebagian besar Gen Z mempertimbangkan untuk menjaga kondisi kesehatan mental mereka agar tetap “waras”. “Ditawari kerja dengan gaji puluhan juta tapi enggak ada cuti? Yah, tidak akan ada yang mau. Karena concern diri saat ini tidak hanya melulu soal kesehatan jasmani tapi juga kesehatan mental dan kesehatan emosi,” lanjut dr. Hesty.
Sisi positifnya, Gen Z jadi sadar bahwa kesehatan mental adalah hal yang juga penting untuk dijaga. Filter informasi pun kian penting. “Gen Z jadi punya batasan. Kalau mereka sudah mulai overthinking atau insomnia, mereka punya coping mechanism,” jelas dr. Hesty.
Sayangnya, karena paparan soal kesehatan mental ini begitu masif dan terkadang tidak terfilter, generasi muda jadi suka melakukan self-diagnosed. “Padahal rasa cemas itu wajar kok, terjadi pada setiap orang. Cemas ketika akan presentasi atau wawancara kerja? wajar. Gagal lolos wawancara kerja? Juga wajar untuk merasa cemas,” ujar dr. Hesty.
Di sisi lain, gangguan kecemasan adalah hal yang sama sekali berbeda. “Jika sudah diikuti dengan kata ‘gangguan’, maka denotasinya sudah berbeda. Mengapa? Karena ada frekuensi kecemasan yang bisa diukur. Ketika seseorang mengalami gangguan kecemasan, ada trigger tertentu. Intensitasnya pun bisa diukur. Gejala fisiknya pun diperhitungkan. Nah, diagnosa ini jadi lebih rumit. Bukan hanya dengan mencocokkan apa yang kita rasakan – karena ini cenderung lebih subjektif – tapi mencocokannya dengan kriteria diagnostik yang ada,” jelas dr. Hesty.
Jadi, menyamakan diri dengan apa yang dibaca di media sosial bukanlah cara terbaik untuk mendefiniskan gangguan kecemasan yang dialami. Kalau kamu merasa memiliki gangguan, hubungilah psikolog dan para ahli. Berikut beberapa contact center yang bisa dihubungi kalau kamu (atau sahabatmu) membutuhkan layanan psikologi:
- Layanan Sejiwa (Sehat Jiwa) oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)
Nomor telepon: 119 ext. 8
- Ikatan Psikologi Klinis Indonesia (IPK Indonesia)
Alamat website: https://ipk.bz/caripsikolog
- Yayasan Pulih
Nomor telepon: 021-78842580
Whatsapp: 08118436633 (pada jam kerja dan hari kerja)
Situs: yayasanpulih.org
- Pijar Psikologi
LINE: @Pijar Psikologi (Official Account) dan ketik kode #KonsultasiChatPijarPsikologi
- Ruang Tumbuh
Nomor telepon: 082249090241
E-mail: ruangtumbuh.id@gmail.com
Memahami Era Gen Z
Admit it, kita suka sekali membanding-bandingkan satu generasi dengan generasi lainnya – termasuk kemampuan kerja masing-masing generasi. Padahal, setiap generasi memiliki kelebihan (dan kekurangannya) sendiri-sendiri.
Secara karateristik tentu berbeda. Pola asuhnya misalnya, Gen X dibesarkan oleh Boomers yang memang karakternya kaku dan tegas. Inilah mengapa Gen X tumbuh menjadi generasi yang cenderung workaholic, bicaranya terstruktur, dan pantang menyerah.
Berbeda dengan Gen Z, yang tumbuh di tengah dunia yang serba instan, mayoritas mengobrol secara texting, dan lebih suka work smarter dibanding work harder. Perbedaan ini membuat kedua generasi harus saling memahami dan menentukan tujuan bersama.
Ada beberapa cara untuk menjembatani kedua generasi, “Pertama, mempersempit gap-nya dulu. Mulai dari Gen X yang tidak boleh mudah baper, hingga Gen Z yang harus lebih ramah, alias terbiasa dengan senyum sapa salam,” saran dr. Hesty.
Kedua, “Ketahuilah bahwa kamu tidak bisa menyuruh Gen Z – mereka lebih suka diajak dan diberi contoh. Gen Z lebih suka dituntun dan diberi arahan, untuk kemudian diberi ruang supaya mereka bisa berekspresi. Jika ada kesalahan, jelaskan mengapa hal tersebut keliru, dan berikan masukan untuk ke depannya – bukan dengan diomeli. Pasti akan mental,” lanjut dr. Hesty.
Di sisi lain, Gen Z harus menggunakan kesempatannya sebaik mungkin. Berikan yang terbaik, jangan mudah menyerah, dan saat ada kendala cobalah untuk menyelesaikannya sebaik mungkin.
Yang terpenting, cobalah untuk bersikap terbuka dengan saling mengobrol dan memberi masukan di setiap kesempatan. Dengan saling memahami satu sama lain, seluruh generasi diharapkan bisa berkolaborasi dengan baik dalam dunia karier.
Ready to collaborate, gengs?