The Art of Letting Go

Karena kita enggak perlu harus selalu menyenangkan orang lain.

293
0
Vidi Aldiano Star Editor Oppal

Dulu, saya berpikir bahwa sebagai orang yang ekstrover, letting someone go dari kehidupan kita itu adalah hal yang jahat. Saya merasa bahwa saya harus punya banyak teman, harus bisa kenal dengan semua orang, dan saya harus bisa keep all those relationships and all those networking and all those friendships. Bahkan, saya juga menjaga hubungan baik dengan mantan-mantan saya.

Saya di masa lampau berpikir, bahwa memutuskan relationship dengan siapa pun, baik itu teman, mantan, colleague, itu bikin saya jadi orang yang jahat, dan saya bukan a bigger person.

Apalagi sejak terjun ke dunia entertainment, saya jadi orang yang selalu memperhatikan kepentingan market dan kebahagiaan orang lain dulu, baru kepentingan diri sendiri. Itulah mengapa saya sulit melepaskan hubungan dengan orang lain.

Artikel Vidi soal Mencintai Seseorang

Namun, semakin dewasa, saya bertemu dengan banyak situasi di mana keeping the relationship is not always the answer and maybe no longer the way. Beberapa bulan terakhir saya menemukan kalau the art of letting go itu justru bukan sesuatu yang buruk.

Yang saya pelajari dari hidup saya: melepaskan orang-orang tertentu dalam hidup itu bisa jadi merupakan jalan yang lebih baik untuk diri saya, karena saya jadi enggak perlu selalu menyenangkan orang lain. Dengan melepaskan orang dari hidup saya, actually I’m doing myself a favor.

Yup, enggak selamanya memutuskan tali silaturahmi itu sesuatu yang buruk. Beberapa orang terdekat saya bahkan sekarang sedang mempraktekkan hal ini juga. Mereka memutuskan bahwa enggak lagi berhubungan dan enggak lagi melihat media sosial beberapa orang ternyata merupakan keputusan yang baik untuk mental health kita.

Kalau dulu saya terbiasa mengatakan “Keep in touch, ya,” kini saya sudah enggak melakukannya lagi ke orang-orang yang saya pikir memang enggak perlu berhubungan dekat. Mengapa? Karena saya percaya dengan terminologi yang berkata, “Kalau kamu temenan sama orang yang pakai parfum, kamu akan ikut wangi, dan begitu juga sebaliknya.”

Alasan lainnya, saya sedang belajar untuk mengedepankan kebahagiaan saya dulu dengan melepaskan orang-orang yang menurut saya tidak perlu di hidup saya.

Dalam hal ini, bukan berarti melepaskan orang-orang yang tidak kita kenal saja atau tidak kita suka saja, tapi juga berani melepaskan orang-orang yang dekat dengan kita namun ternyata hubungannya toxic. Intinya, begitu kita sadar bahwa orang tersebut tidak baik untuk mental health kita ke depannya, enggak ada salahnya buat mengikuti intuisi dan suara hati.

Baca juga artikel Vidi soal Apa Itu Kebahagiaan

Bukan berarti setelah melepaskan hubungan tersebut kita jadi merasa benci, atau bitter sama memori dengan orang tersebut, ya. Kita cuma menjaga jarak saja dengan orang tersebut karena ternyata kita enggak cocok satu sama lain.

Memang, proses melepaskan ini butuh waktu yang cukup lama. Kita perlu belajar, mengumpulkan keberanian, dan butuh wisdom buat memahami bahwa aksi yang kita lakukan ini buat kepentingan diri kita sendiri.

Saya juga pelan-pelan kok, mempelajari art of letting go ini. Enggak secara blunt dan brutal. Dan untungnya, saya terbantu dengan pekerjaan juga untuk smooth things out. Tapi saya yakin, semua orang punya caranya sendiri-sendiri buat dealing with their problem. And yes, enggak apa-apa kok, sesekali melakukan hal yang egois demi kebaikan hati dan pikiran kita sendiri.

Memang, terkadang kita akan merasa kangen. Tapi kalau ditelusuri lagi, sebenarnya kita bukan kangen dengan orangnya, tapi kangen dengan memori-memori baik yang dulu pernah hadir di hidup kita.

Di saat seperti itu, saya cukup memvalidasi diri saya sendiri, bahwa memori dan histori itu ada buat jadi pengalaman dan pembelajaran saya ke depannya. Dan dengan melepaskan sesuatu, saya bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik.

Bagaimana menurutmu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *