Menarik, 74 Persen Orang Indonesia Suka Cerita yang Happy Ending

Penyuka happy ending beralasan bahwa cerita yang berakhir bahagia jauh lebih berkesan. Selain itu, happy ending menghadirkan rasa lega dan penutup yang bagus sebagai pucuk cerita.

227
0
Happy ending

Apakah kamu tipe yang sering bertanya pada teman mengenai akhir cerita suatu film, serial barat, drama Korea, atau novel? Jika berakhir menyedihkan, kamu memilih tidak menonton atau membaca.

Berdasarkan hasil survei terkini yang digagas oleh Cabaca dan Jakpat yang bertajuk Happy Ending. Emang Ada? memperlihatkan hasil yang cukup menggelitik.

Survei yang melibatkan 257 responden tersebut mengungkapkan bahwa 74,32 persen partisipan menyukai happy ending sebagai akhir cerita. Lalu, sebanyak 15,95 persen memilih open ending, hanya 9,73 persen mendukung sad ending.

Mayoritas penyuka happy ending beralasan bahwa cerita yang berakhir bahagia jauh lebih berkesan dibandingkan sad ending atau open ending. Selain itu, happy ending menghadirkan rasa lega dan penutup yang bagus sebagai pucuk cerita.

Kebanyakan responden mempercayai bahwa membaca buku adalah kegiatan yang memberikan hiburan sehingga kebanyakan orang memilih kisah-kisah yang berakhir bahagia.

Definisi akhir bahagia, menurut mayoritas responden, tak melulu terkait dengan cerita cinta dua sejoli, tetapi lebih kepada pemeran utama yang mencapai tujuan atau sukses mewujudkan mimpi.

Selain itu, happy ending juga dapat diartikan jika konflik terpecahkan dan hasil dari proses menerima serta mampu menikmati keadaan yang baru. Intinya, tidak ada penyesalan yang tersisa pada akhir cerita.

Terakhir, happy ending juga diartikan semua tokoh merasa bahagia dengan baik, keberhasilan protagonis menyelesaikan masalah, sesuai ekspektasi, masalah utama terselesaikan, dan lainnya. 

Ilustrasi menonton bioskop

Penyuka Cerita Happy Ending Tak Pede Jalani Proses Hidup?

Pada penelitian lain, dua profesor dari Universitas Cambridge pernah mempelajari efek samping dari kebiasaan selalu memilih happy ending pada novel, film, dan serial.

Martin Vestergaard, PhD, dan Wolfram Schultz, PhD dari Universitas Cambridge Departemen Fisiologi, Pengembangan, dan Ilmu Saraf pada tahun 2020 silam merepresentasikan hasil simulasi digital 27 partisipan pria.

Mereka memantau aktivitas otak dengan bantuan magnetic resonance imaging (MRI), seluruh paritisipan diminta untuk melihat dua seri koin jatuh ke dalam pot terpisah dan menentukan pot mana yang lebih baik.

“(studi ingin mempelajari) kemampuan kita untuk meringkas pengalaman yang terjadi dari waktu ke waktu,” kata Vestergaard.

Dia menambahkan bahwa orang yang terpaku pada kesimpulan atau akhir cerita bisa memburamkan pikiran dan konsentrasi mereka dari menilai secara akurat dalam durasi penuh.

“Jika Anda tidak dapat mengontrol ketertarikan kamu pada akhir yang bahagia, kamu tidak dapat mempercayai pilihan diri sendiri, kamu tidak tahu mana kepentingan yang terbaik untuk kamu,” tandasnya.

Vestergaard dan Schultz menjelaskan bahwa seseorang yang piawai dalam mengambil keputusan optimal biasanya membutuhkan waktu dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Mereka menerima proses yang harus dijalani.

Dua peneliti menyimpulkan bahwa fokus pada akhir bahagia tidak selalu memberikan hasil optimal untuk masa depan.

Kamu termasuk yang suka happy ending atau sad ending Oppal Gengs?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *