Make Time for Me Time

Bagi saya saat ini, “me time” adalah soal menemukan secuil waktu di antara kesibukan.

1748
2

Beberapa waktu lalu, saya sempat membuat sebuah unggahan di akun Instagram dengan caption “Sometimes the most productive thing you can do is to relax.”

Bagi beberapa orang, mungkin kalimat tersebut terkesan biasa saja, dan bagi beberapa lainnya caption tersebut mungkin hanya asal lewat, sembari jemarinya terus mengusap layar smartphone.

Tapi, kalau boleh jujur, jika dipikir-pikir lagi, saya rasa kalimat tersebut merupakan salah satu kalimat terbaik yang pernah saya bagikan pada para pengikut saya, bahwa terkadang kita butuh waktu sejenak untuk berhenti melakukan hal yang sedang kita lakukan. Ambil sedikit momen untuk relaks, jadi diri sendiri, and reconnect with ourselves.

Kalau kamu belum sempat melakukannya hari ini, saran saya, lakukanlah sekarang.

Belakangan ini, saya menyadari bahwa kesibukan saya semakin padat dibandingkan dengan sebelumnya. Festival season seakan sedang berada pada puncaknya, jadwal manggung kembali seperti normal, and that means… making “me time” for myself definitely gets more difficult.

Bukan berarti saya tak menghargai rezeki yang datang. Tentu saya senang bisa kembali berinteraksi secara langsung dengan para penggemar setelah sekian lama kita terpisah jarak akibat pandemi. Namun, dengan begitu saya harus mengambil risiko, bahwa ekspektasi atau standar saya untuk “me time” harus agak diturunkan.

Not in a bad way, namun kini saya jadi lebih mengapresiasi little moment yang saya dapatkan untuk bisa menjadi diri sendiri.

Semisal, jika tadinya makna “me time” adalah harus datang ke salon untuk manicure dan pedicure dan semua hal yang saya suka untuk pampering myself, sekarang ini “me time” buat saya lebih pada mendengarkan podcast sambil memasak, atau bangun pagi dan menghabiskan waktu sebentar untuk main badminton, atau bahkan semudah mengecek handphone di dalam mobil.

Bagi saya saat ini, “me time” adalah soal menemukan secuil waktu di antara kesibukan.

Artikel Raisa lainnya: Self-care is the New Beauty Code

When I can be alone with my thoughts, this is “me time”. Doing nothing, also “me time”. Doing my skincare routine or doing make up, it’s “me time”. Kalau ada waktu istirahat yang lebih panjang, saya akan memasak atau menonton K-drama – lagi-lagi, ini juga “me time”.

Intinya, ketika saya punya waktu untuk diri saya sendiri, apa pun yang saya lakukan, itu saya anggap sebagai “me time” versi saya.

Karena ketika kita (ya, saya dan kamu, dan dia) sendiri, atau alone with our thoughts, itulah saat-saat di mana kita bisa menyadari siapa sebenarnya kita. Kita jadi tahu, kita tuh suka apa sih, enggak suka apa, apa yang ingin kita lakukan untuk diri kita, bagaimana masa depan yang kita inginkan, apa yang ingin kita lakukan ke depannya, apa prioritas hidup kita, dan lainnya.

Hal-hal seperti itu menurut saya hanya bisa kita ketahui ketika kita punya waktu untuk diri sendiri, dan enggak bisa kita dapatkan di tengah kehebohan kita setiap hari saat menjalani multi-peran. That’s why I believe “me time” is a chance to spend time to connect with ourselves.

Ilustrasi Me Time

Me Time, Women, and Social Expectation

Saya sempat melihat sebuah unggahan yang cukup viral mengenai society’s expectation towards women, di era modern ini perempuan sering kali harus memenuhi banyak ekspektasi sosial. Perempuan harus mampu multi-peran: menjadi seorang ibu, menjadi perempuan pekerja (bagi saya, menjadi seorang entertainer), menjadi seorang anak, menjadi istri, dan masih banyak lagi peran lain yang belum saya sebutkan, yang membuat kita sebagai perempuan seringnya lupa akan siapa diri kita sebenarnya.

Dan melakukan “me time” di tengah barisan peran tersebut merupakan hal yang terkadang…hanya menjadi keinginan semata.

Sebagai perempuan, saya turut merasakan hal tersebut. Jujur saja, melakukan “me time” masih sering membuat saya merasa bersalah, baik terhadap diri sendiri maupun orang di sekitar. Inilah yang membuat saya lebih memilih untuk mengambil “me time” yang singkat namun meaningful, dibandingkan mengambil “me time” yang cukup panjang tapi membuat saya merasa guilty.

Tapi, saya juga menyadari, bahwa perlahan-lahan, step by step, sebagai perempuan kita membutuhkan “me time” yang lebih leluasa tanpa merasa perlu terburu-buru ketika sedang asyik menyapukan kuteks di kuku, atau terburu-buru ketika sedang asyik membaca novel, atau merasa tak nyaman ketika sedang seru menonton binge watching serial K-drama favorit.

Untuk mencapai tujuan tersebut, tentu society mesti paham akan kondisi para perempuan, dan menormalisasi para perempuan untuk boleh menjadi dirinya sendiri di luar menjalani kehidupan multi-perannya. Bahwa kita lebih dari sekadar istri, ibu, anak, tapi juga sebagai seorang manusia seutuhnya.

Merasa bahwa putting myself first adalah egois? I’ve been there. Tapi kini tak lagi. Karena saya memahami kalau kita keep neglecting our needs, kita jadi lupa siapa diri kita sebenarnya, we become unfulfilled. Kita juga tidak akan bisa memberikan yang terbaik untuk orang-orang terdekat atau untuk deretan peran kita di dunia ini.

Saya setuju dengan kalimat ini: You can not pour from an empty cup. Jika gelas kita sendiri kosong, apa yang bisa kita berikan?

Sebagai perempuan, kita punya peranan yang vital di masyarakat. We build our family, we build our society, and that’s how we build the world. Seperti lirik lagu Run the World (Girls) dari Beyonce – perempuan sekaligus entertainer berkulit Hitam yang senantiasa menggemakan peran perempuan dalam lagu-lagunya – “How we smart enough to make these millions / Strong enough to bear the children / Then get back to business”.

Putting yourself first is not selfish, it means you are responsible for your own self and aware of your own needs.

‘till next article!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 thoughts on “Make Time for Me Time

  1. Sering lupa untuk ngucap makasih ke diri sendiri, makasih udah diingatkan oppal dan raisa!

  2. · 17/09/2022 at 16:18

    💖