Dengarkan Keinginan Anak Bisa Jadi Proses Pendewasaan Bagi Orang Tua

Terkadang, sebagai orang tua kita terlalu sibuk meminta anak berkompetisi dan berprestasi, hingga lupa bahwa mereka juga punya keinginan pribadi.

237
0

Orang tua mana yang tidak bangga memiliki anak yang beriman, cerdas, patuh, dan berprestasi. Melihat anak orang lain begitu rajin menelurkan pencapaian cemerlang, acap kali membuat orang tua terdorong untuk membentuk anak sendiri melakukan hal yang sama.

Namun, apakah anak-anak juga memiliki ambisi dan keinginan yang serupa dengan orang tua?

Hilary Levey Friedman, PhD, pada bukunya yang bertajuk Playing to Win: Raising Children in a Competitive Culture menjelaskan hasil temuannya mengenai metode dan studi ekstensif.

Ia melakukan penelitian tersebut ketika menyelesaikan disertasi doktor jurusan sosiologi di Universitas Princeton, Amerika Serikat (AS).

Disertasi Hilary yang berjudul “Playing to Win: Childhood, Competition, and Credentials Bottlenecks” membeberkan sikap sejumlah orang tua yang rela mengeluarkan biaya besar untuk kegiatan akademis anak, baik di sekolah atau luar sekolah.

Ia mewawancarai 195 keluarga yang anak-anaknya terdaftar sebagai peserta kompetisi matematika, catur, seni tari, dan sepak bola. Tak hanya bertanya jawab dengan orang tua, ia juga menggelar sesi wawancara pada anak-anak.

Studi itu mengantarkan Hilary pada kenyataan bahwa seluruh partisipan orang tua menghabiskan banyak uang sebagai biaya partisipasi, pelatihan, pengembangan, dan ekstrakurikuler intensif. Mereka memacu anak-anak untuk bekerja keras dalam kompetisi, bahkan beberapa orang tua turut mendalami pelajaran demi membantu anak-anak tampil dengan baik.

Tujuannya? Menurut temuan Hilary, mereka yang menjadi orang tua akhirnya memiliki pemikiran yang sama: Mereka percaya membiasakan anak untuk bersaing adalah persiapan yang baik dalam mengantarkan mereka pada fase usia dewasa.

Setiap orang tua, kata Hilary, mengatakan bahwa kita hidup dalam masyarakat yang sangat kompetitif, kesuksesan membutuhkan sikap kompetitif, dan anak membutuhkan keterampilan agar tidak kalah dalam persaingan.

Sebagian besar orang tua berpendapat bahwa bidang kejuaraan yang diikuti anak bukanlah hal penting, mereka bahkan tidak mengharapkan sang buah hati menjadi atlet catur, profesor matematika, dan pemain sepak bola profesional. Sebab, inti dari mengikutsertakan anak pada kejuaraan adalah membentuk disiplin dan sikap ingin menang.

Hal yang demikian sangat dipercaya orang tua mampu membuat anak-anak matang dan lebih siap menghadapi masa depan, misalnya untuk bersaing masuk ke perguruan tinggi unggulan, mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar, meraih promosi, atau sukses menjadi entrepreneur.

Mereka pun terbiasa memberikan hadiah dan apresiasi berupa materi apabila anak-anak berhasil menang. Selain itu, mereka tidak keberatan menambah uang saku agar anak terpacu untuk berlatih dan belajar lebih keras.

Hilary memandang langkah-langkah yang dilakukan orang tua tersebut sebetulnya berisiko dan berbahaya. Pasalnya, anak akan menjadi terbiasa melihat materi sebagai sesuatu yang berharga dibandingkan minat intrinsik.

Ironisnya, Hilary menemukan fakta-fakta mengejutkan ketika ia melakukan wawancara dengan anak-anak.

Pada sesi berbicara dengan partisipan anak, ia mengajukan banyak pertanyaan ringan yang biasa anak-anak dengar, seperti apa hobi mereka, cita-cita mereka, dan apa yang mereka sukai dalam mengikuti kompetisi.

Ternyata, seluruh anak menjawab bahwa sebenarnya hal yang paling mereka sukai dari mengikuti kejuaraan atau kompetisi adalah kesempatan menambah teman dan berkenalan dengan orang-orang baru.

Tak sedikit anak yang mengaku memiliki perasaan bersalah ketika berada dalam kondisi harus mengalahkan teman-teman mereka, terutama yang usianya sebaya.

Hilary juga tidak mendapatkan satu pun anak yang mengaku suka dengan persaingan atau kompetisi. Anak-anak bahkan akhirnya menyukai kegiatan ekstrakurikuler yang dipaksakan orang tua karena mereka bertemu banyak teman di sana.

Sayangnya, Hilary tidak menemukan orang tua yang menyebutkan agar anak bisa berteman dan bersosialisasi dengan baik sebagai alasan investasi pendidikan anak-anak mereka. Uh-oh!

Hmm, fakta dari studi ini mungkin bisa menjadi masukan bagi kita semua ya, Oppal Gengs. Ketika menjadi orang tua kelak (atau kalau kamu justru kini telah menjadi ayah atau ibu), ada baiknya dengarkan apa keinginan anak, dan hindari memaksakan keinginan pribadi pada anak-anak kita.

Karena kenyataannya, kita mungkin lupa apa kebutuhan anak ketika sibuk mempersiapkan mereka menjadi dewasa. Let them be kids! And let them be who they want to be.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *