Selalu Sibuk, Apakah Kamu Terperangkap dalam Hustle Culture?

223
0

Kalau kamu merasa 24 jam sehari dan 7 hari seminggu masih kurang untuk menyelesaikan tumpukan pekerjaan dan mencapai target, boleh jadi kamu memang benar-benar menerapkan prinsip “Hidup untuk kerja”, bukan sebaliknya. 

Kecenderungan untuk bekerja bahkan hingga mendorong batasan yang mampu ditolerir fisik dan mental, menjadi suatu fenomena sejak pandemi Covid-19 melanda dunia pada awal 2020. Anjuran untuk mengurangi mobilitas dan melakukan banyak hal dari rumah, termasuk bekerja, menciptakan sebuah kenormalan baru: WFH (Work From Home). Bahkan kini sudah berkembang menjadi WFA (Work From Anywhere) seiring kebijakan perusahaan yang menerapkan fleksibilitas kepada karyawannya dalam bekerja. Mau di kantor, di rumah, di kafe, di mana saja. Yang penting pekerjaan terselesaikan dengan baik.

Terkesan menyenangkan, namun menciptakan sisi gelap: Bekerja tanpa kenal waktu dan tempat. Fast response untuk pertanyaan dan permintaan bos di WhatsApp jam berapa pun, membalas email di luar jam kerja atau bahkan di akhir pekan, dan Zoom meeting tanpa henti yang membuat agenda harian terasa sesak. Selamat datang di era hustle culture

Ternyata istilah hustle culture bisa ditemukan di laman Kementerian Ketenagakerjaan RI. Didefinisikan sebagai standar di masyarakat yang menganggap bahwa sukses hanya bisa diraih kalau benar-benar mendedikasikan hidup untuk pekerjaan dan bekerja sekeras-kerasnya hingga menempatkan pekerjaan di atas segalanya. Istilah lainnya adalah workaholic, gila kerja, dan corporate slave.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh The Finery Report tentang hustle culture, ditemukan bahwa 83,8% responden menganggap bekerja lembur sebagai hal yang normal. 69,6% mengaku bekerja secara rutin di akhir pekan dan 60,8% merasa bersalah jika tidak menambah jam kerja.

Berikut sejumlah tanda bahwa kamu telah menjadi bagian dari hustle culture:

  • Selalu memikirkan pekerjaan tanpa kenal waktu dan tempat. Tidak punya waktu untuk bersantai.
  • Ketika akhirnya punya waktu untuk bersantai dan beristirahat, malah justru merasa bersalah.
  • Sering mengalami burnout atau kelelahan bekerja.
  • Tidak pernah merasa puas dengan hasil kerja. Selalu ingin hasil yang sempurna dan sulit menoleransi kesalahan.

Gaya kerja hustle culture membawa dampak yang tidak baik bagi kesehatan fisik maupun mental. Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan di Current Cardiology Reports pada 2018, mereka yang bekerja lebih dari 50 jam seminggu mengalami peningkatan risiko penyakit jantung. Dari sisi kesehatan mental, bekerja keras tanpa istirahat meningkatkan risiko terjangkit depresi, kecemasan, hingga pikiran untuk melakukan bunuh diri. 

Bagi kamu yang sudah terlanjur berada di dalam pusaran hustle culture, silakan mencoba langkah-langkah berikut demi kesehatan jiwa dan raga:

  1. Mulai hentikan membandingkan diri kamu dengan kesuksesan orang lain. Hal ini akan menimbulkan tekanan terus menerus dan menciptakan ekspektasi yang tidak realistis. 
  2. Luangkan waktu meski sedikit untuk melakukan hobi. Jangan biarkan pekerjaan menggerus seluruh waktu dan hidup Anda.
  3. Cari tahu batasan diri dan membuat batasan yang jelas. Kalau memang tubuh sudah meminta istirahat (lelah, pegal, mengantuk), berarti memang saatnya untuk rehat. 
  4. Definisikan ulang pencapaian yang ingin kamu raih. Kalau sekarang parameter kesuksesan kamu adalah menjadi manajer dalam perusahaan, maka perlebarlah dengan hal-hal lain yang tidak kalah bermakna, seperti meluangkan waktu untuk keluarga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *