Ulat Sagu: Jadi Pangan Hingga Pantangan

Sampai saat ini ulat sagu masih dikonsumsi di Papua dan juga Mentawai.

330
0
Star Editor Febrian

Pada artikel kali ini, saya ingin membahas lebih banyak mengenai salah satu makanan khas dari Papua, yaitu ulat sagu. Kamu mungkin sudah pernah mendengar ulat sagu, jenis ulat berwarna putih nan gemuk yang hingga kini masih umum digunakan sebagai makanan oleh penduduk setempat. Biasanya, ulat sagu ditemukan pada batang pohon sagu yang sudah tua dan tumbang. Bagian dalam batang pohon sagu ini penuh dengan zat tepung yang kemudian menjadi makanan ulat sagu.

Ulat sagu
Ulat sagu/Shutterstock

Nah, bicara soal ulat, tahukah kamu, bahwa ulat sagu ternyata tidak tumbuh besar menjadi kupu-kupu atau ngengat, namun sebagai kumbang?

Yup, kumbang penggerek betina biasanya meletakkan telur-telur merahnya di bagian batang pohon sagu yang luka, hingga kemudian telurnya menetas menjadi larva lalu tumbuh menjadi ulat sagu. Ulat sagu tersebut biasanya berukuran sebesar ibu jari dan hidup sebagai ulat dalam siklus yang berlangsung selama 3-6 bulan. Di saat inilah, ulat sagu biasanya dikumpulkan untuk dikonsumsi.

Sampai saat ini ulat sagu masih dikonsumsi di beberapa daerah di Indonesia, seperti Papua dan juga Mentawai. Masyarakat Papua, khususnya yang tinggal di kawasan pesisir, bahkan memilih ulat sagu sebagai makanan favorit mereka. Melansir dari Wikipedia, ulat sagu bahkan telah menjadi kuliner favorit sejak masa prasejarah, lho!

Tulisan Febrian soal Kain Tenun Sumba

Sebagai bahan makanan, ulat sagu sendiri memang memiliki banyak manfaat dan nutrisi. Salah satu kandungan nutrisi yang paling menonjol dari ulat sagu adalah protein yang bisa mencapai 9,34 persen. Selain itu, ulat sagu juga mengandung beberapa asam amino esensial, rendah serat, dan bebas kolesterol. Dalam 100 gram ulat sagu, terdapat 181 kalori, 6,1 gram protein dan 13,1 gram lemak.

Salah satu olahan ulat sagu yang paling dikenal adalah sate ulat sagu atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ko’o, makanan asli Papua. Sate ini biasa disajikan dengan bumbu kacang, sambal, dan lalapan. Makanan ini dipercaya cocok bagi penderita diabetes.

Sate ulat sagu
Sate ulat sagu/Shutterstock

Bicara mengenai ulat sagu, tahukah kamu bahwa ada masyarakat tertentu yang ternyata tak boleh mengonsumsi ulat sagu?

Sebuah kawasan di Sumatra Barat, yaitu Pulau Siberut, dihuni oleh suku Mentawai yang merupakan salah satu suku tertua di Indonesia. Suku Mentawai hingga saat ini masih tinggal jauh di dalam hutan. Di antara masyarakat suku Mentawai, terdapat sebuah tradisi unik yaitu Sikerei.

Potret Suku Sikerei
Potret Suku Sikerei/Shutterstock

Sikerei adalah orang yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual yang tinggi dan memiliki kedekatan dengan roh leluhur untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sikerei bertugas untuk melakukan penyembuhan pada orang sakit dengan memberikan ramuan obat sambil menarikan tarian khusus yang disebut dengan Turuk, sebuah tarian untuk memanggil arwah para leluhur.

Di dalam suku Mentawai, Sikerei sangat diperlukan. Sikerei juga biasanya harus didampingi oleh seorang mediator yang bertugas menjaga kelancaran arus komunikasi antara penduduk suku dengan alam para arwah leluhur.

Baca Juga artikel Febrian soal Hidden Gems

Ngomong-ngomong soal Sikerei, mereka yang dipercaya sebagai Sikerei ternyata memiliki pantangan, yaitu dilarang memakan ulat sagu. Konon, seorang Sikerei yang memakan ulat sagu akan kehilangan “kesaktiannya”.

Hmm, kisah yang menarik, ya. Kalau kamu sendiri, sudahkah kamu mencoba ulat sagu, gengs?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *