Budaya Membaca Credits, Budaya Menghargai Seni Seutuhnya

Katakanlah, sebuah lagu. Yang kita tahu: Judul lagunya ini, penyanyinya itu. Dinikmati, lalu sudah. Sampai di situ saja.

490
0

Tulisan ini saya buat sembari menunggu segelas matcha latte di sebuah gerai kopi terkenal yang – saya jamin – pasti sering kamu kunjungi. Menatap antrean panjang, muncul sebuah pemikiran di benak saya. Dalam 86.400 detik yang Tuhan jatahkan untuk manusia setiap harinya, banyak di antara kita yang ternyata mau meluangkan waktu sejenak untuk menghargai kopi.

Kita (dalam hal ini, ya, saya juga termasuk) tak keberatan menonton proses pembuatan kopi yang kita pesan, hingga akhirnya kopi tersebut sampai di genggaman tangan dalam balutan gelas plastik berwarna putih bertuliskan nama kita, sang pemesan. Terkadang, lengkap dengan sebuah ucapan singkat dari sang barista.

Sedihnya, hal yang sama tidak terjadi dengan karya seni. Jarang dari kita yang aware dengan proses pembuatan sebuah karya seni, atau bahkan mencoba untuk mencari tahu orang-orang yang telah berjasa atas lahirnya sebuah karya.

Katakanlah, sebuah lagu. Yang kita tahu: Judul lagunya ini, penyanyinya itu. Dinikmati, lalu sudah. Sampai di situ saja.

Memang, para produser dan pencipta lagu sudah terbiasa dengan keadaan ini. Dan mungkin dari sinilah asal usul istilah “pekerja belakang layar” muncul, saya kurang tahu pasti.

Yang saya tahu pasti, mereka akan lebih bahagia jika kerja kerasnya di-acknowledge. Dihargai. Dipahami.

Dulu tiap kali sebuah lagu dirilis, nama pencipta selalu ikut tersemat di bawah judul lagu. Di zamannya, siapa yang tak tahu lagu “Kidung” yang diciptakan Chris Manusama, atau “Lenggang Puspita” yang merupakan hasil karya Guruh Soekarno Putra.

Entah mulai kapan peran para pencipta lagu mulai kurang disorot. Semisal, tahukah kamu kalau lagu “Andai Aku Bisa” dari almarhum Om Chrisye adalah mahakarya dua maestro kita, Ahmad Dhani dan Bebi Romeo?

Saat Dewa sedang dalam masa berjayanya, Mas Dhani pun memproduseri album pertama Reza Artamevia di tahun 1997 silam. Dan masih banyak lagi cerita-cerita lainnya.

Sebagai bagian dari generasi perubahan, saya berharap citra produser atau pencipta lagu yang sering disebut “pekerja belakang layar” ini dapat berubah. Mari kita bawa kebaikan di dalamnya, agar masa depan bisa menjadi masa yang lebih baik. Mari kita hargai hal-hal yang kita nikmati setiap harinya, termasuk sebuah lagu.

Dan bukan hanya dalam dunia musik, namun segala sesuatu di industri hiburan: Film, serial drama televisi, dan sebagainya.

Menghargai itu lebih dari sekadar menikmati. Jika kamu punya waktu untuk menghargai secangkir kopi, kamu pasti punya waktu juga untuk sebuah karya seni.

Jadi, cobalah, sambil mendengarkan lagu di DSP (Digital Streaming Platform), klik tautan song credits-nya. Saat lampu bioskop mulai terang di pengujung film, simak credit title-nya.

Kebiasaan baik ini akan menjadi suntikan penyemangat luar biasa bagi para pencipta. Ketika kamu sebagai penikmat bisa lebih menghargai karya dan semua elemen di dalamnya, jagat hiburan pasti akan lebih indah.

Baca juga tulisan Nino lainnya: Daur Ulang Lagu: Bentuk Musisi Berikan Apresiasi

Coba bayangkan bila para penelur karya merasa lelah berkarya karena tak cukup dapat pengakuan? Mungkin jawabannya ada di penggalan lirik lagu “Seni” karya Mas Guruh yang satu ini:

Mengapa kau meremehkan kesenian.

Dan kau menganggap para seniman itu pemimpi.

Sebelum kau menyadarinya, hentikan dulu lagu ini.

Dan pergilah, hiburlah dirimu bersama kehampaan.”

Bicara tentang seni, siapa sebenarnya pahlawannya? Yang mencipta, atau yang menikmati karyanya? Bila tidak ada yang mencipta, tidak ada karya untuk dinikmati. Bila tidak ada yang menikmati, untuk apa karya tercipta?

Jadi pahlawannya: Kita semua. Jadilah agen perubahan, dan mari kita kawal dunia seni Indonesia jadi rumah yang lebih indah untuk siapa pun di dalamnya.

Love,

Nino.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *