Giulio Parengkuan Lakukan Perjalanan Reflektif Lewat Pameran Rentan Waktu

Giulio Parengkuan, aktor berumur 23 tahun, menggelar ekshibisi foto bertajuk Rentan Waktu yang kemudian jadi kaca ruang personalnya.

407
0
Giulio Parengkuan

Siapa yang bisa menebak bahwa Giulio Parengkuan, seorang aktor muda berumur 23 tahun, ternyata memiliki inspirasi untuk menggelar sebuah ekshibisi foto bertajuk “Rentan Waktu” di Melting Pot, Ground floor, Ashta District 8. Lagi, ia juga menggunakan koleksi foto-foto pribadinya yang berumur setengah dekade untuk sebuah pameran tunggal.

Well, bisa jadi kita akan mencatat seorang fotografer baru yang akan melahirkan karya-karya penuh makna. Mungkin, ini adalah sebuah awal dari perjalanan baru seorang Giulio Parengkuan. Siapa yang bisa menebak pastinya?

Satu hal yang pasti, Giulio tak ingin ekshibisi foto pertamanya cuma sekadar menampilkan deretan foto estetis di hadapan massa. Ia punya sebuah misi yang lebih personal: Agar tiap individu yang menikmati pameran tersebut bisa ikut merasakan dan merangkai sebuah perjalanan yang reflektif, seperti yang ia lakukan.

Ya, setelah bulan-bulan penuh kurasi foto yang intens dan kompleks, Giulio menemukan banyak pelajaran dan sisi rentan dari pengalaman hidupnya, dan ia tak ingin menyimpannya untuk dirinya seorang. Lewat momentum ini, ia justru ingin memanfaatkan kerentanan pribadinya untuk sebuah tujuan yang lebih besar: “Bahwa pameran ini adalah sebuah kaca ruang personal,” jujurnya.

Giulio ingin menekankan pesan bahwa sebagai manusia, normal saja jika kita punya sisi vulnerability, yang tak masalah untuk ditampilkan di hadapan umum.

Angan dan Awal Mula

Kenalkan, inilah sisi Giulio Parengkuan yang sebenarnya, yang penuh penghayatan makna dan pemikiran mendalam, yang mungkin jarang ia tampilkan di layar kaca kala asyik menenggelamkan dirinya dalam selusin peran yang berbeda.

Kamu bisa menemukan lebih banyak sisi humanisnya lewat foto-foto di pameran “Rentan Waktu” – mulai dari perasaan bahagia hingga pengalaman dikhianati – yang selama ini tak kita temukan saat sibuk menonton sepak terjangnya sebagai aktor muda bertalenta.

“Rasanya senang bisa menggelar sebuah pameran foto untuk yang pertama kalinya, tapi mixed feelings juga. Karena untuk pertama kali, foto yang biasa saya tatap sendirian di laptop atau di layar ponsel, bisa dinikmati banyak orang. It’s something magical. Saya sadari beberapa foto lebih keluar ‘warnanya’ dan lebih ‘bersuara’, dibandingkan beberapa foto yang awalnya saya pikir akan terlihat bagus tapi ternyata hasilnya biasa saja,” ujar Giulio.

Oppal bisa mendengar nada excitement dari jawaban Giulio lewat wawancara online kami. Ia baru saja selesai syuting ketika kami mengobrol.

Melanjutkan percakapan, Giulio mengaku bahwa tajuk “Rentan Waktu” tak sengaja dipilihnya ketika ia keliru menulis kata ‘rentang’ menjadi ‘rentan’. “Saya kemudian mencari tahu arti kata rentan di KBBI, dan ternyata artinya vulnerable. Ini justru pas banget, karena saya punya kegelisahan dan keresahan tentang hal-hal yang mana terjadi di situasi hidup kita sekarang ini.”

Oppal pun bertanya lebih lanjut mengenai apa keresahan yang mengganjal pikirannya. “Bahwa sekarang semuanya itu berhubungan dengan media sosial, misalnya platform seperti Instagram dan lainnya. Media sosial seakan menjadi tempat untuk berlomba menunjukkan perfection, hal-hal yang melulu positif, dan menurutku, akhirnya hal ini justru menjadi a bit toxic. It’s toxic positivity. In a sense bahwa asal muasal media sosial itu digunakan untuk berbagi momen, baik yang positif maupun yang vulnerable, tapi akhirnya sekarang tendensinya berubah.”

Inilah yang kemudian menginspirasinya untuk mengambil tema vulnerable, alias kerentanan, dalam ekshibisi foto pertamanya. “Di era sekarang, seakan menjadi suatu hal yang tabu untuk membahas sisi kerentanan diri. Di zaman serba digital ini, kita semua sibuk menunjukkan sisi happiness. Best moments in our life. Tapi orang yang mengonsumsinya lama-lama bisa ‘gila’. Bermain media sosial membuat kita mengonsumsi seluruh unggahan ‘perfect’, yang justru membuat kita jadi depressed. Why? Karena kita jadi comparing our lives to someone else’s,” ujarnya.

“Padahal, what they shared, that’s not the whole story, it’s just the part of the story. Beberapa kebahagiaan tersebut memang nyata adanya, tapi tak menutup kemungkinan sebagian ada yang dibuat. Nah, mereka tak menampilkan sisi yang satunya: yang penuh kerentanan,” tambahnya.

Oppal mengangguk mendengar Giulio berkata demikian, meski ia mungkin tak bisa melihatnya, karena kami tak berbagi tampilan video. Tapi Oppal setuju dengan apa yang ia katakan, serta apa yang ia sebutkan setelahnya, “Bahwa manusia tidak lepas dari kerentanan dalam kehidupan keseharian. Dan bagiku, mendekatkan diri dengan kerentanan yang kita punya justru bisa membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik. Rasanya seperti berkaca dalam cermin, whether you like it or not, kita melihat diri kita apa adanya. Dengan mengakui diri dan menerima keberadaan pribadi di depan kaca, kita jadi bisa bergegas menjadi lebih baik,” ucapnya lugas.

Kerentanan sisi Giulio inilah yang kemudian ia pilih untuk ia tampilkan dalam media foto dan tulisan. Kalau kamu berkunjung ke pameran fotonya, kamu bisa melihat bahwa ia menunjukkan seluruh sisi dirinya. As it is. Giulio Parengkuan sebagai seorang manusia seutuhnya, bukan hanya sebagai aktor.

“It’s like my little box of life”

Giulio mengaku bahwa pandangannya terhadap dunia berubah seiring bertambahnya usia. Hal ini ia sadari ketika ia melihat koleksi-koleksi fotonya. “Pada saat mengambil foto, bagian dari diri kita ikut masuk ke dalam foto itu. Ini hal yang saya sadari, dan elemen ini yang saya gunakan untuk merefleksikan diri saya. Saya jadi tau apa isi kepala saya lima tahun lalu, atau tiga tahun lalu.”

Ya, Giulio menggunakan koleksi foto-foto lamanya untuk pameran tersebut. Beberapa bahkan berasal dari fotonya ketika masih SMP lalu, sekitar 8 tahun lalu. Total foto yang ia kurasi? Antara 40 ribu sampai 70 ribu foto. Dan ia melakukan proses kurasi tersebut selama kurang lebih empat bulan. “Satu hal yang paling sulit dalam membuat ekshibisi ‘Rentan Waktu’ adalah proses kurasinya. That’s the trickiest part,” akunya.

Giulio Parengkuan - Rentan Waktu
Giulio Parengkuan – Rentan Waktu

Aktor kelahiran 20 Juli 1999 tersebut menjelaskan bahwa saat ia memulai pameran foto ini, ia mencari tahu terlebih dahulu apa arti kurasi. “Sebetulnya kurasi itu kan preference dari masing-masing orang, yang sudah tahu mereka suka foto seperti apa. Semisal foto dengan nuansa dark, atau light bubbly. Nah, setelah tahu arti kurasi ini, saya memutuskan untuk membawa ekspresi warna saya sendiri,” jelasnya.

Giulio pun meneruskan prosesnya dengan melakukan grouping foto berdasarkan emosi yang ia dapatkan saat melihat foto tersebut. “Misalnya foto A, representasi yang saya rasakan ketika melihat foto tersebut adalah warna merah, maka saya akan memberi label merah dan mengumpulkannya dengan foto lain yang berlabel sama. Tujuan saya melakukan hal ini adalah agar saya tidak bias. Maksudnya, bisa jadi foto-foto yang saya suka semuanya ada di dalem label tertentu, tapi ini adalah pilihan yang paling safe. Ini adalah sisi yang saya suka. Sedangkan saya ingin memamerkan sisi kerentanan,” terangnya.

Perjalanan kurasinya tak berhenti sampai di situ. “Bayangkan, dari total 34 foto yang saya inginkan, saya harus mencari foto tersebut satu persatu dari negatif film yang saya miliki, frame per frame. Satu roll foto itu ada 36 frame, sedangkan saya punya ratusan frame. Melelahkan, tapi di sisi lain juga sangat excited. Mengapa? Dari pengalaman tersebut saya menyadari bahwa isi kepala saya ternyata berubah-ubah seiring bertambahnya usia. Ada pendewasaan diri, tapi juga ada kendala dan kerentanan. Intinya, hal-hal yang membuat saya manusia seutuhnya,” jelasnya.

“Saya juga menemukan, bahwa rupanya Giulio 5 tahun yang lalu lebih jago mengambil foto dibandingkan Giulio 2 tahun yang lalu. Ternyata, enggak semuanya soal jam terbang yang tinggi,” ujarnya.

Baginya, elemen foto bukan cuma soal komposisi atau warna, tapi the story behind it. “Yang ingin saya tunjukkan adalah momennya, bukan hanya soal good photo. Saya ingin membagikan foto-foto yang mana ada historinya buat saya, terutama yang berpengaruh terhadap perkembangan saya menjadi manusia yang utuh lagi,” tambah aktor berzodiak Cancer tersebut.

Pameran Personal

Bagi Giulio, ekshibisi foto ini adalah perjalanan yang kontemplatif, “It makes me grateful, reminds me of who I am, that I am a human being, that I have weaknesses, too. Bahwa di masa sekarang ini kita enggak bisa melulu harus ‘penuh’, kita juga punya vulnerability dan kita enggak bisa kabur dari itu,” ujarnya. Rasanya itu kata yang tepat, vulnerability. Lalu, seperti apa contoh sisi rentan yang Giulio miliki?

“Sejujurnya, saya berhenti mengambil foto selama dua tahun belakangan. Alasannya, saya merasa kehilangan momen ketika saya mengambil momen lewat kamera. I wanna get involved in the moment, instead. Sebagai manusia saya merasa kita harus terus memperkaya diri dengan pengalaman hidup, whatever it is. Tapi kalau di belakang kamera terus, we got the picture, but we lost the moment.”

Apakah pameran foto ini kemudian jadi membangkitkan keinginannya untuk mengambil foto lagi? “Saya pikir juga begitu, mungkin membuat ekshibisi foto ini akan membangkitkan alasan mengapa awalnya saya suka mengambil foto. Seru, ya. Ini jadi kaca ruang personal buat saya,” jawabnya.

Giulio berharap, orang-orang yang menikmati ekshibisi tersebut juga dapat membuat rentan waktunya masing-masing. “It will be a very interesting and fun journey. Jadi lebih mengenal diri sendiri, saya inginnya apa, sih?” tambahnya.

Lalu, apakah kemudian ia jadi beritikad untuk membuat pameran kedua? “Uh, itu yang saya pikirkan sih sebenarnya akhir-akhir ini. Karena saya mau lihat dulu, jujur saja, apa sih sebenarnya hal yang dilihat masyarakat dari pameran ini?” ucapnya

“Karena menurut saya, I don’t think people see art no more. Bahwa ekshibisi akhirnya cuma jadi sekadar tempat bagi orang-orang untuk foto-foto. It looks aesthetic, that’s it, people reach no more. Jadi saya ingin lihat dulu sampai pameran foto ini selesai, saya gunakan referensi yang ada, refleksi masyarakat seperti apa. Dari situ saya baru memutuskan apakah ada pameran kedua, dan tematik apa yang ingin saya buat,” tambahnya lagi.

Ya, siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Mungkin, di hari terakhir pameran, ia akan berubah pikiran. Yang jelas, inilah chapter hidup seorang Giulio Parengkuan, bagian hidupnya sejak ia berumur belasan tahun hingga ia berumur 21 tahun. Inilah seluruh wawasan dan isi kepalanya yang ia tuangkan lewat pameran “Rentan Waktu”

“Satu hal yang pasti: Rentan waktu itu tidak akan pernah selesai,” ucapnya, menutup wawancara kami hari itu.

Pada akhirnya, Giulio berhasil memanifestasikan kerentanannya. Ia menjadi sosok yang lebih dari seorang aktor: ia adalah seorang seniman, seorang pemikir, seorang penulis, seorang manusia seutuhnya. Mungkin ia akan mengubah pemikirannya mengenai pameran foto setahun lagi atau mungkin tiga tahun lagi. Satu hal yang pasti, ia tak akan segan menunjukkan kerentanannya. Lagi dan lagi.

Alvin
WRITTEN BY

Alvin

Lifestyle and Entertainment Editor at Oppal, who mainly obsesses over all things pop culture, pizza, and boba drinks with equal enthusiasm. Covering everything from celebrities profile to the best TV shows.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *